Jumat, 31 Juli 2015

Sharing Economy: Hotel vs AirBnB



Sharing economy adalah sebuah mantra keren yang saat ini sedang hot-hotnya dibahas di dunia bisnis. Apa itu sharing economy? Sederhananya begini: ada beberapa cara untuk memenuhi kebutuhan kita. Pertama dengan cara membarter apa yang kita punya dengan orang lain punya alias sama-sama butuh. Cara kedua adalah dengan cara membeli dari yang punya apa yang kita butuhkan tapi tidak membutuhkan yang kita punya. Mereka butuhnya duit kita.... hehehe. Dalam hal ini hubungannya sebagai produsen dan konsumen atau penjual dan pembeli. Kalau sharing economy itu ya bila kita punya sesuatu yang berlebih kemudian kita share (berbagi) dengan orang lain yang membutuhkan. Tentunya tidak gratis ya. Terjadi transaksi di sini antara orang dengan orang atau peer to peer transaction.

Sejak dulu sharing economy sudah biasa dilakukan tapi caranya masih offline. Misalnya masyarakat di daerah Kuta yang terkenal dengan pantai dan sunsetnya yang indah itu sudah biasa berbagi sebagian area rumahnya (tepatnya kamar tidurnya) yang lebih untuk para surfer dari Aussie itu. Masyarakat lokal mempunyai suplai kamar yang lebih sementara si pelancong sedang butuh tempat untuk berteduh selama liburan di Bali. Inilah bentuk sharing economy.

Nah, sekarang dengan adanya teknologi internet sharing economy menjadi semakin mudah. Dalam tulisan ini saya hanya fokus membahas sharing economy di sektor pariwisata khususnya bidang akomodasi. Ada beberapa website yang memfasilitasi sharing economy. Salah satu contohnya yang lagi hot adalah AirBnB (www.airbinb.com). Yang lainnya ada juga, misalnya HomeAway.com atau VRBO.com. Website ini memudahkan para pemilik property yang ingin berbagi ruang dengan mereka yang membutuhkan melalui platform dunia maya.

Coba bayangkan diri Anda yang ada di Indonesia ingin jalan-jalan let’s say ke Roma di Italia sana. Jadi cukup masuk ke salah satu website tersebut lalu masukkan lokasi yang Anda inginkan dan tanggalnya. Klik search. Muncullah pilihan-pilihan kamar-kamar yang tersedia beserta harganya. Kalau sudah merasa sreg dengan salah satunya ya tinggal lanjut klik klik saja. Maka beberapa saat atau beberapa harinya pemilik properti akan menjawab email Anda untuk melanjutkan transaksi dan hal-hal lainnya.

Sebenarnya sangat menarik juga untuk mencoba melakukan perjalanan ke negeri asing dan tinggal di rumah penduduk lokal. Pengalaman yang didapat pastilah jauh berbeda dibandingkan kalau kita menginap di hotel konvensional. Kita merasa seperti halnya orang lokal saja. Makan di tempat orang sana biasa makan. Bergaul dengan orang-orang lokal dan hidup di lingkungan lokal. Apalagi kita beruntung mendapatkan host atau tuan rumah yang baik.... wow feel so special deh.

Dalam diskusi dengan teman-teman sesama pelaku bisnis perhotelan di Bali sering timbul pertanyaan apakah sharing economy ini akan mengancam bisnis hotel konvensional. Saya sendiri berpendapat ya pasti berpengaruh. Secara kuantitas jumlah wisatawan yang datang ke Bali meningkat setiap tahun. Namun banyak yang mengeluh ke mana perginya wisatawan itu karena banyak hotel yang masih sepi juga. Memang jumlah hotel meningkat belakangan ini. Tapi fakta di lapangan juga menunjukkan banyak wisatawan yang tinggal di villa-villa atau rumah pribadi dengan perantaraan AirBnB dan teman-temannya itu.

Lalu akankah hotel akan kehilangan relevansinya seperti halnya CD dan DVD yang punah digantikan oleh file mp3? Saya rasa tidak. Bisnis akomodasi tidaklah sesimpel itu. Akomodasi itu adalah jasa, bukan produk. Demikian juga hotel. Tergantung kepiawaian pengelola saya yakin hotel tidak akan bernasib seperti CD dan DVD. Ada beberapa hal yang tidak bisa diberikan oleh villa-villa atau rumah-rumah pribadi tersebut. Apa itu? Salah satunya adalah safety atau rasa aman. Apakah Anda yakin bahwa orang yang punya rumah tersebut orang baik-baik? Ada beberapa kejadian buruk yang menimpa penyewa. Apalagi biasanya pemilik tersebut tidak terdaftar secara resmi. Banyak rumah/villa yang lokasinya terpencil dan tidak dilengkapi dengan penjaga. Wow…. Pastinya ada resiko keamanan di sana. Faktor lainnya adalah kelengkapan fasilitas. Di antaranya fasilitas makan minum dan fasilitas rekreasi. Kalau Anda tinggal di hotel tentunya hal tersebut bukan masalah.

Lalu mana yang lebih baik? Ya tergantung Anda sendiri. Setiap orang punya preferensi masing-masing. Sharing economy pastinya lebih murah, lebih terasa kelokalannya. Namun minusnya juga ada seperti paparan tadi. Tinggal di hotel bisa jadi lebih mahal tetapi kita mendapatkan perasaan aman. Nah ini yang sebenarnya mahal. Tapi gak apa-apalah mahal yang penting nyaman.

Silakan tentukan sesuai pilihan masing-masing ya. Jadilah traveller yang pintar, periksa dulu review atau komentar yang saat ini gampang sekali didapatkan di website.

Semoga bermanfaat.

Rabu, 09 April 2014

Empat Syarat Menjadi Caleg yang Dicintai Pemilih (Catatan Pemilu Legislatif 2014)





Ah, biasa saja.


Itu kesan saya tentang Pemilu Legislatif 2014 yang dilaksanakan hari ini, 9 April 2014. Sebagai warga negara yang baik saya sudah menggunakan hak pilih saya secara bertanggungjawab jam 8 pagi tadi di TPS 17 di Balai Banjar Kehen, Desa Kesiman Petilan, Denpasar Timur. Seperti pemilu-pemilu dan pemilukada yang lalu, kita pakai pakaian adat Bali tingkat madya. Nuansa Balinya kental banget. Maka tuntas sudah kewajiban untuk memilih wakil yang akan duduk di DPRD Kota Denpasar, DPRD Bali, DPR Pusat dan DPD yang akan mewakili Bali.

Jadi sekali lagi biasa-biasa saja kesannya. Tidak seseram dulu waktu jam Pak Harto. Tidak ada ketegangan, tidak ada deg-degannya. Panitia TPS, pemilih, pemantau semuanya saling melempar senyum, suasananya adem. Saksi yang dikirim partai juga sangat santai. Ada dua saksi kakak beradik menjadi saksi dari dua partai berbeda. Tidak masalah. Fine fine saja.

Justru memilih calon yang akan dicoblos itu malah yang sulit. Calon legistlatif (caleg) yang ada kurang begitu berkesan. Banyak caleg yang rekam jejaknya kurang terpuji di masyarakat. Beberapa calon lain juga kurang dikenal namun tiba-tiba mencalonkan diri. Wah susah kalau begini. Saya sendiri punya beberapa kriteria ideal untuk untuk seorang calon legislatif layak dipilih. Mau tahu? 

Ini dia:

1. Bersih
Yang satu ini syarat utama. Caleg tidak boleh korupsi. Baru jadi caleg saja sudah tidak boleh korupsi apalagi kalau nanti sudah duduk sebagai anggota dewan. Dia mesti bersih dari tindakan korupsi. Selain bersih dari korupsi dia juga harus bersih dari tindakan tidak terpuji lainnya. Bagaimana mungkin kita memilih penjahat sebagai wakil rakyat. Penjudi juga tidak masuk hitungan. Pemabuk, penipu dan segala tindakan bermoral lainnya harus kosong dari rekam jejaknya. Pendek kata si caleg harus layak untuk dijadikan panutan. Bagaimana dengan peselingkuh?.... hmmm ... tidak juga deh.

2. Punya pengalaman berkecimpung di organisasi masyarakat
Ketika duduk di legislatif maka akan diperlukan kemampuan untuk berorganisasi yang baik. Kemampuan untuk menjadi pemimpin ataupun menjadi yang dipimpin. Harus tahu hubungan kerja antar organisasi dan instansi sehingga nanti bisa bekerja sama dengan baik. Setidaknya seorang caleg harus pernah menjadi pengurus organisasi masyarakat, setidaknya di tingkat desa. Dari pengalaman ini dia akan mampu menyerap aspirasi masyarakat yang diwakili dan memperjuangkan aspirasi itu kepada yang jalur yang semestinya.

3. Tahu tugas dan kewajiban sebagai wakil rakyat
Menjadi wakil rakyat itu berbeda dengan menjadi kepala daerah. Banyak yang salah kaprah. Waktu kampanye banyak caleg yang berjanji muluk-muluk layaknya kampanye pilkada bahwa dia akan melakukan hal-hal yang sebenarnya di luar kewenangan anggota dewan. Namanya juga anggota legislatif ya fungsi utamanya sebagai pembuat legislasi, menyusun anggaran, monitoring. Dia harus punya kemampuan menyusun aturan, perda, undang-undang dan lain-lain. Kalau tidak punya persyaratan no 1 dan 2 di atas saya ragu seorang anggota dewan akan mampu menyusun peraturan dengan baik. Akan gagap menyusun anggaran dan akan lembek dalam mengawasi kinerja eksekutif. Dia harus tahu sampai di mana batas-batas kewenangannya.

4. Peduli
Karakter lain yang sangat penting adalah adanya rasa peduli. Jangan hanya peduli pada saat menjelang pemilu saja. Jangan hanya peduli pada yang memilih dia saja. Dia harus peduli pada semua lapisan masyarakat yang ada di daerah pemilihannya. Dengan kewenangan yang dipunyai seandainya dia terpilih untuk duduk di kursi anggota dewan, rasa peduli ini akan menjadi modal utama dalam menyusun legislasi, menyusun anggaran dan melakukan pengawasan. Tanpa rasa peduli makan masa lima tahun akan sia-sia. Jadi kita harus cerdas menilai calon mana yang memang dari sananya memang punya rasa peduli. Ada atau tidak ada pemilu dia selalu peduli dengan masyarakat. Dialah yang layak dipilih. Yang pedulinya dadakan pas pemilu saja tolong dihapus dari daftar.

Saya kira 4 itu yang penting di samping banyak kriteria yang lain. Tidak perlu banyak keluar uang untuk menyuap pemilih. Kalau karakter di atas sudah melekat pada diri si caleg, pasti dia terpilih.

Pemilu Legislatif 2014 bagi saya biasa saja. Mungkin ini merupakan bentuk kedewasaan masyarakat dalam memilih. Mudah-mudahan pemilu kali ini menghasilkan anggota dewan yang lebih berkualitas. 

Bagaimana menurut Anda? Ayo saya tunggu komentarnya.


Rabu, 05 Februari 2014

Naik Kereta Komuter di Kuala Lumpur


Kami memilih Bangkok dan Kuala Lumpur untuk mengisi liburan keluarga tahun 2013, tepatnya bulan Oktober. Walaupun bukan dari keluarga kaya saya berusaha untuk memberi prioritas untuk berlibur dengan istri dan anak-anak tercinta. Saya yakin dengan melihat tempat-tempat baru akan membawa manfaat yang baik bagi kami terutama buat anak-anak. Banyak hal baru yang kami lihat, banyak kenangan indah yang akan kami ingat di kemudian hari nanti. Bahasa yang berbeda, makanan yang terasa asing di lidah, adat kebiasaan yang unik dari masyarakat di sana. Satu hal yang paling saya sukai adalah bila ada hal-hal yang baik di tempat tersebut yang layak untuk kita tiru dan terapkan di kampung halaman.

Setelah tiga hari di Bangkok kami melanjutkan perjalanan ke Kuala Lumpur Malaysia. Memang hubungan antara Indonesia dan negeri jiran ini memang sering bikin panas dingin karena beberapa isu seperti masalah TKI maupun klaim budaya yang sering dilakukan pihak Malaysia. Itulah yang membuat kami tambah penasaran. Yah, demikian memang dinamika hubungan negara bertetangga. Sama seperti dengan hubungan kita dengan tetangga. Kadang mesra kadang tanpa tegur sapa.

Harus saya akui bahwa Kuala Lumpur sudah lebih maju daripada Jakarta. Infrastrukturnya lebih bagus, kebiasaan warga kotanya pun sudah modern. Lebih bersih, lebih rindang, tidak ada pengemis di jalan, lebih teratur. Jaringan transportasi umum juga sangat bagus dan terhubung dengan baik ke berbagai tempat penting maupun destinasi wisata. Bukannya tidak ada macet seperti di Denpasar atau Jakarta. Tapi macet di sana masih lebih beradab tanpa suara klakson dan tanpa saling serobot atau sepeda motor naik trotoar.

Dibandingkan dengan KL, Bali sebenarnya punya lebih banyak tempat wisata yang lebih menarik dan unik. Tiga hari di KL membuat saya mati gaya untuk menentukan tempat mana yang akan dikunjungi. Anak-anak saya sudah cukup besar (11 dan 15 tahun). Mereka sudah pernah ke beberapa tempat seperti Universal Studio Singapura, Ancol, Trans Studio Bandung. Jadi tempat-tempat yang berbau theme park seperti Sunway Lagoon, KL Aquarium dan lain lain tidak begitu menarik lagi buat mereka. Shopping juga bukan hobi mereka, kecuali ibunya... hahaha. Agar lebih berpetualang kami akhirnya memilih untuk berkunjung ke Batu Caves, sebuah tempat ibadah umat Hindu di sedikit di luar KL. Staff Club Lounge di Grand Hyatt Kuala Lumpur menyarankan kami untuk naik kereta komuter. Selain murah juga bersih dan tepat waktu katanya.

Maka kamipun mengikuti saran mereka. Kami berangkat dari stasiun (bahasa Malaysia-nya 'stesen') yang ada di bawah menara kembar Petronas menuju KL Central. Memang benar. Keretanya bersih, tepat waktu. Tiketnya pun cukup murah. Tinggal beli di konter atau di mesin seperti mesin ATM. Setelah melewati beberapa 'stesen' akhirnya kami sampai di Batu Caves. Kurang lebih memerlukan sekitar 25 menit waktu tempuh dari KL Central. Perjalanan yang nyaman karena keretanya bersih, sejuk, tepat waktu. Dan yang paling penting adalah rasa aman. Ada petugas pemeriksa karcis yang sepertinya juga sebagai pengawas keamanan yang selalu siaga. Pulangnya kami juga naik kereta ini sampai 'stesen' semula.

Saya tidak ingin bercerita tentang Batu Caves kali ini. Mungkin di waktu yang lain saja. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah sebuah ide. Mungkinkah di Bali kita buat jaringan kereta api komuter yang menghubungkan semua tempat wisata di Bali dengan aman, nyaman, murah dan tepat waktu? Saya rasa sangat mungkin, tergantung kemauan dari pemerintah dan dukungan masyarakat. Dengan sistim transportasi yang tidak teratur saat ini menyebabkan polusi di mana-mana termasuk di tempat-tempat wisata yang jauh di pelosok desa. Kawasan wisata Besakih yang nota bena merupakan kawasan suci umat Hindu terkena polusi asap kendaraan yang luar biasa. Belum lagi waktu yang banyak terbuang percuma karena terjebak kemacetan di mana-mana. Tentu hal ini akan menjadikan Bali semakin kalah dalam persaingan dengan destinasi wisata lain di dunia.

Kalau ini terwujud maka kemacetan akan berkurang. Demikian juga polusinya. Waktu wisatawan jadi lebih efisien sehingga lebih banyak waktu yang bisa dipakai untuk menikmati segala atraksi yang disediakan oleh objek wisata. Efisiensi biaya transportasi akan beralih kepada meningkatnya anggaran dari wisatawan untuk sektor lain seperti toko souvenir, warung makan maupun penginapan lokal.

Tentu akan ada protes dari warga masyarakat yang selama ini menggantungkan nafkahnya dari menjual jasa angkutan wisata. Tentu saja harus dicari pemecahannya. Bisa saja kendaraan mereka dijadikan semacam 'feeder' untuk mendukung sistim transportasi masal ini. Selalu ada saja pengorbanan untuk sesuatu yang lebih baik. Dan untuk itu perlu kesadaran dan dukungan warga.

Saya berkhayal suatu hari akan naik kereta komuter dari Stasiun Kuta ke Stasiun Besakih pergi-pulang. Semoga Anda juga mempunyai khayalan yang sama.


Kamis, 07 Maret 2013

Nyepi di Hotel Yuukkk!


Seperti tahun-tahun sebelumnya, hari-hari ini email saya dipenuhi oleh informasi yang menawarkan paket Nyepi di hotel-hotel berbintang yang ada di Bali. Sebagian besar menawarkan paket menginap 2 malam lengkap dengan makan minum dan segudang fasilitas rekreasi. Mungkin nampak biasa bagi orang kebanyakan karena paket ini menawarkan kenyamanan bagi umat yang beragama lain yang tinggal di pulau mungil ini untuk menghindar dari keharusan untuk menderita (dalam tanda kutip) pada saat Nyepi dengan mengungsi ke hotel. Tapi yang cukup membuat sedih adalah banyak juga orang Bali yang notabene Hindu yang ikut tergoda rayuan ini. Banyak rekan yang bahkan sengaja 'escape' menghilang dari Bali pada momen tahunan ini sekedar untuk menjauh dari keharusan untuk bergelap gulita, berdiam di rumah seharian. Jauh sebelum Nyepi mereka sudah memesan tiket ke Singapura, Jakarta ataupun kota-kota di Jawa.

Nyepi yang seharusnya menjadi momentum untuk berkontemplasi saat ini sudah menjadi sebuah rutinitas belaka setiap tahunnya. Nampak meriah di sisi luar dengan semaraknya pawai Ogoh-Ogoh namun di sisi dalam ia semakin kehilangan makna. Dan saya pun menduga ini adalah efek negatif dari pariwisata materialistis yang saat ini sedang kita kembangkan. Ataukah ini pertanda hegemoni budaya hedonis yang kini menjadi agama baru kaum kita?

Tanpa bermaksud menggurui, bagi saya Nyepi adalah sebuah momen yang sangat istimewa. Hanya di hari itu saya bisa lagi mendengar nyanyian burung, desir angin, gemericik air dan suara-suara alam lainnya yang setiap hari kalah dengan deru roda kehidupan di tempat tinggal saya di Denpasar. Di hari itu kami sekeluarga biasanya hadir lengkap. Di hari itu dunia seakan berhenti berputar, memberi ruang bagi kita untuk merenungkan makna sejati kehidupan. Hari itu bukanlah penderitaan, hari itu adalah kesempatan yang amat langka.

Selamat hari raya Nyepi tahun Caka 1935.

Minggu, 03 Juni 2012

Bandung Jakarta Naik Kereta Api






5 Februari 2012.

Receptionist di Hyatt Regency Bandung bertanya ke saya, "Pak, ke Jakarta naik apa besok? Sudah pesan kendaraan?". "Oh iya, kami akan naik kereta api eksekutif Parahyangan jam 3 sore. Apa bisa diantar ke stasiun gak?. Ternyata sang reseptionist terheran-heran mendengar jawaban saya. Biasanya orang Jakarta yang ber-weekend di Bandung kalau balik ke Jakarta naik mobil pribadi atau travel. Mungkin juga dia pikir ini orang Bali kok naik kereta? Kan lebih cepat naik travel, langsung bisa sampai di alamat yang dituju. Hehehe... saya bilang ke dia bahwa saya cuma ingin coba saja berhubung di Bali tidak ada kereta api. Saya ingin memberikan pengalaman menggunakan berbagai moda transportasi untuk anak-anak saya. Di samping itu, dengan menggunakan kereta kami masih bisa melihat suasana pedesaan di pinggir rel kereta yang tentunya akan terlewat bila naik pesawat.

Sampai di stasiun Bandung ternyata masih banyak waktu yang tersisa. Kami sempat keliling-keliling sekitar stasiun. Stasiunnya masih berupa bangunan peninggalan Belanda yang dirawat dengan baik. Mungkin dari sisi kebersihan maupun penataan area komersialnya yang perlu diperbaiki lagi karena mengganggu kenyamanan penumpang.

Kereta api Bandung - Jakarta sore itu tidak terlalu ramai. Di gerbong tempat saya dan keluarga hanya terisi kurang dari setengah. Ruangannya bersih dan jarak antara kursi sangat lebar. Sangat nyaman untuk selonjor kaki. Tidak seperti kursi pesawat low cost airline biasanya. Kalau mau pesan makanan juga bisa. Tinggal pesan yang disuka nanti langsung diantar ke kursi masing-masing. Kecepatan kereta mungkin rata-rata 60 - 80 km/jam. Saya tidak tahu pasti tapi saya rasa secepat itu. Hal ini sangat menguntungkan karena kami bisa menikmati pemandangan alam yang luar biasa khususnya setelah keluar kota Bandung. Sawah, kebun maupun desa-desa kecil yang dilewati sangat mempesona. Jembatan yang membentang tinggi di atas jurang yang menakjubkan. Tidak kalah dengan apa yang tersaji di film-film Hollywood. Anak-anak bermain bola di lapangan desa mengingatkan saya pada masa kecil. Sayang setelah satu setengah jam perjalanan turun hujan. Pemandangan alam akhirnya tidak bisa terlihat jelas lagi.

Memasuki kota Jakarta, pemandangan yang disuguhkan sangat berbeda. Tempat tinggal liar di pinggir rel kereta, perkampungan yang kumuh, sampah di mana-mana. Tiga jam waktu yang dibutuhkan dari Bandung untuk sampai di Stasiun Gambir. Tiga jam yang menyajikan pemandangan yang kontras. Suasana desa yang tenang dan asri dalam suasana guyub di mana jurang antara si kaya dan si miskin tidak terlalu kentara sangat kontras dengan gemerlap Jakarta yang metropolis dan egois. Yang kaya, kaya sekali; yang miskin, miskiiiiiiin sekali.

Balik lagi ke perjalanan dengan kereta tadi. Saya pikir sebenarnya negara kita mempunyai potensi pariwisata yang sangat luar biasa. Wisata dengan kereta dari Jakarta ke Bandung sangat layak dijual. Tentunya dibutuhkan pengelolaan yang lebih baik dan dipasarkan dengan profesional. Panorama alam yang tersaji sangat luar biasa. Saya membayangkan apabila keindahan ini diabadikan oleh fotografer-fotografer handal yang banyak kita miliki. Wow, pasti sangat fantastis hasilnya. Tinggal sekarang siapa yang mau memulai menggarap ini. Ayo siapa berani?





Mana Mungkin Orang Bali Bisa jadi General Manager Hotel?



Tamat SMA dulu tahun 1989 saya menghadapi dilema yang cukup berat. Niatnya memang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu masuk universitas, ambil jurusan arsitektur karena memang cita-citanya mau ke sana. Dari sisi bekal ilmu sebenarnya cukup mendukung. Saya tamat dari jurusan fisika dan nilai-nilai pelajaran eksak juga sangat baik. Matematika, fisika, kimia lumayan di atas 9 semua. Bahasa Inggris juga OK. Namun saya harus berhadapan dengan realita. Kalaupun orangtua bisa membiayai saya sampai tamat kuliah arsitek, saya yakin adik-adik saya bakal hanya mampu sekolah sampai SMA saja. Maklumlah ayah hanya seorang tukang bangunan dan ibu seorang ibu rumah tangga yang juga membantu mencari nafkah dengan bisnis kecil-kecilan. Namun yang saya contoh dari mereka adalah sikap jujur dan pantang menyerah. Tidak pernah sekalipun beliau mengambil rejeki dari cara yang curang.

Singkat cerita, setelah menimbang-nimbang, saya akhirnya memutuskan masuk sekolah perhotelan karena saat itu peluang kerja di hotel sangat banyak. Terdamparlah saya di BPLP Bali mengikuti program Diploma 1 Front Office. Saya pikir dengan modal nilai bahasa Inggris yang baik saya akan cocok untuk bidang itu. Sekolahnya pun hanya 1 tahun jadi cepat bisa bekerja dengan harapan bisa membantu orang tua menyekolahkan adik-adik.

Tahun 1990 saya tamat dan langsung mengirimkan lamaran ke beberapa hotel. Sempat ditolak oleh beberapa hotel tapi sempat juga menolak kesempatan kerja dari salah satu hotel. Syukur akhirnya saya diterima di salah satu hotel besar di Nusa Dua. Di sanalah saya belajar bekerja selama tujuh setengah tahun. Dari seorang karyawan biasa sampai bisa menjadi manager menengah. Perjalanan karir terus berlanjut sampai akhirnya kini setelah 20an tahun bekerja saya mencapai posisi yang diidam-idamkan oleh hampir semua karyawan hotel yaitu posisi GM, General Manager. Tentu posisi ini mempunyai tanggung jawab yang besar sehingga diperlukan orang-orang yang sudah berpengalaman untuk memegang posisi ini. Saya bersyukur karena mendapatkan kesempatan yang langka ini.

Saya sering mendengar dan membaca bahwa orang-orang yang ada di posisi puncak sering merasakan kesendirian. Kesendirian dalam arti profesional. Saya rasa hal ini terjadi di hampir semua organisasi baik itu organisasi masyarakat, sosial, bisnis maupun lainnya. Ibarat mendaki gunung, ketika kita berada di puncak kita akan merasakan kesendirian. Memang dalam membuat keputusan kita akan dibantu oleh anggota tim kita namun keputusan akhir tetap ada di tangan kita. Karena itu kitalah yang paling bertanggungjawab atas segala hasil dari keputusan yang diambil. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan kesendirian dari Presiden RI dalam memutuskan hal-hal yang penting buat negara ini.

Salah satu cara mengatasi kesendirian tadi adalah dengan ikut aktif dalam forum-forum atau asosiasi bisnis yang melibatkan rekan-rekan sesama GM. Ada beberapa di Bali seperti PHRI, BHA ataupun SKAL Club. Bagi yang suka bergiat di bidang sosial banyak yang ikut Rotary Club. Di sana biasanya berkumpul para GM atau eksekutif hotel-hotel di Bali yang secara rutin bertemu baik dalam acara yang santai ataupun yang lebih serius membicarakan hal-hal yang menyangkut pariwisata Bali khususnya bidang perhotelan. Bagaimana caranya agar kita tidak tertinggal dari pesaing-pesaing kita, bagaimana caranya menjalankan pariwisata yang berkelanjutan tanpa merusak lingkungan agar bisa dinikmati oleh generasi mendatang.

Ada satu hal yang cukup menggelitik perhatian saya dalam hal ini. Dalam beberapa forum yang saya ikuti sangat jarang ada GM yang orang Bali di sini. Selain saya paling ada lima orang Indonesia lainnya. Itupun tidak semua orang Bali. Sebagian besar orang-orang asing. Bukan bermaksud SARA karena jaman sudah global. Namun pertanyaannya ke manakah GM orang-orang Bali ini? Apakah saya yang salah tempat?

Belum ada data mengenai berapa banyak orang Bali yang menjabat posisi ini. Tapi saya tahu sudah banyak teman-teman Bali yang memegang posisi ini sekarang. Mungkin mereka merasa organisasi di atas tadi adalah untuk orang-orang asing. Namun harus diakui bahwa untuk saat ini kemampuan GM asing memang masih di atas kita. Perkataan saya ini pasti banyak yang bakal mendebat. Itu boleh-boleh saja. Tapi paling tidak dari sisi networking, penguasaan bahasa Inggris dan pemahaman budaya para turis asing yang berwisata ke Bali, mereka lebih mumpuni. Saya sendiri tidak jarang harus belajar dari mereka tentang beragam hal. Saya merasa beruntung punya seorang mentor GM asing yang sangat membantu mengembangkan diri saya. Banyak sekali pola pikir dan cara pandang mereka yang berbeda dengan kita. Tentu tidak semuanya sesuai dengan kebudayaan kita tapi sangat banyak yang lebih baik dari cara kita memandang. Terserah kita untuk menyaringnya.

Saya bermimpi bahwa pada suatu saat dalam forum-forum ini saya akan melihat kehadiran lebih banyak GM-GM Bali. Kita harus menunjukkan eksistensi bahwa SDM Bali tidak kalah dengan daerah lain ataupun dari SDM luar negeri. Kehadiran kita di forum-forum ini akan memberikan warna yang berbeda. Kita bisa memberikan suatu masukan yang berharga buat kelestarian pulau yang indah ini.

Semoga.

Jumat, 01 Juni 2012

Ada Pesan Cinta di Pantat Truk

Tahun 2010 lalu, tepatnya mulai 1 Oktober saya pindah kerja dari Jimbaran ke Seminyak. Kalau dari rumah di Kesiman ke Jimbaran biasanya saya tempuh dalam waktu satu jam. Nah sekarang dari rumah ke Seminyak waktunya berkurang jadi 45 menit. Itu dulu, tahun 2010. Tapi sekarang sudah balik lagi ke waktu tempuh satu jam. Inilah dampak negatif dari perkembangan ekonomi yang sangat baik tapi tanpa diimbangi dengan perkembangan infrastruktur yang sesuai. Masyarakat dimanjakan dengan uang muka yang ringan untuk kredit sepeda motor maupun mobil namun jalan raya hanya segitu-gitu saja.

"Tidak usah mengeluh, nikmati saja", gerutu saya dalam hati. Untuk mengisi waktu sambil menyetir saya sekarang punya kebiasaan baru yaitu update status di facebook lewat telepon genggam saya. Sambil menyetir saya dengar radio. Nah dari siaran radio ini biasanya tercetus ide-ide status facebook yang enak untuk di-posting. Jadi waktu terjebak macet atau pas nunggu lampu merah maka secepatnya saya update status yang muncul di pikiran.

Kebetulan saat ini di tempat saya bekerja kami memasarkan hotel secara online. Maka mau tidak mau saya harus menceburkan diri saya ke segala hal yang berhubungan dengan dunia internet marketing. Salah satunya marketing melalui sosial media. Dalam perjalanan memburu ilmu sosial media marketing itu saya pernah membaca sebuah artikel tentang posting apa saja yang mendapatkan respon tinggi di Facebook. Jawabnya ada 3 (kalau tidak salah). Status yang diposting harus memenuhi unsur relevance, recency dan trend. Artinya status yang kita posting harus berhubungan dengan audien, harus masih anyar dan sedang dibicarakan.

Saya iseng-iseng coba resep tersebut dan ternyata manjur. Kalau update status tentang diri kita sedang bagaimana (galau dan kawan-kawannya) atau kita sedang melakukan apa biasanya tidak begitu mendapat tanggapan dari teman-teman. Tapi begitu saya posting status tentang isu terkini dan relevan dengan teman-teman saya maka mendadak sontak respon segera mengalir.

Namun ada satu hal lagi yang cukup mengena dalam hal ini. Biasanya dalam perjalanan satu menuju tempat kerja saya kadang-kadang dengan terpaksa membuntuti pantat... dalam hal ini pantat truk. Ada sesuatu yang menarik di situ yaitu tulisan-tulisan yang dirangkai dengan grafis yang indah. Pesan-pesan yang dipasang ada yang lucu, gundah dan bahkan nakal. Saya tidak tahu pasti apakah pesan-pesan ini dipilih langsung oleh sopir truk sendiri atau malah pesanan dari sang pemilik truk. Yang pasti pesan-pesan tersebut cukup menginspirasi dan membuat hilang rasa kantuk. Bisa saja pesan-pesan itu adalah curahan isi hati sang supir sendiri....hahaha. Nah ternyata posting pesan pantat truk yang saya kemas dalam bentuk "pesan pantat truk hari ini" ternyata cukup mengena unsur relevance, recency walaupun belum tentu trendy. Hasilnya respon dari teman-teman mengalir deras setiap saya posting "pantat truk". Bahkan seorang teman mengaku menunggu-nunggu terus status tersebut....hahaha

Kalau mau eksis di social media, selamat mencoba resep ini!