Kamis, 14 Mei 2009

Sisi Lain Pak Boed yang Saya Kenal

Saya sedang mengumpulkan beberapa artikel tentang sosok Pak Boediono yang sekarang sedang hangat dibicarakan orang karena jadi cawapresnya SBY. Kebetulan tadi waktu buka kompas.com ketemu artikel di bawah ini. Yang nulispun bukan orang sembarangan yaitu Faisal Basri, salah satu ekonom nasional yang kita. Selama ini Faisal Basri kita kenal sebagai tokoh yang kritis terhadap perekonomian nasional kita. Saya yakin apa yang dia tulis di blog pribadinya ini sangat valid. Selamat membaca!

===============================================================

Sisi Lain Pak Boed yang Saya Kenal
Oleh Faisal Basri - 14 Mei 2009 - Dibaca 5126 Kali -

Saya pertama kali mengenal Pak Boed pada akhir 1970-an lewat buku-bukunya yang enak dibaca, ringkas, dan padat. Pada akhir 1970-an. Kalau tak salah, judul-judul bukunya selalu dialawali dengan kata ”sinopsis,” ada Sinopsis Makroekonomi, Sinopsis Mikroekonomi, Sinopsis Ekonomi Moneter, dan Sinopsis Ekonomi Internasional. Kita mendapatkan saripati ilmu ekonomi dari buku-bukunya yang mudah dicerna.

Pada suatu kesempatan, Pak Boed mengutarakan pada saya niatnya untuk merevisi buku-bukunya itu. Mungkin ia berniat untuk menulis lebih serius sehingga bisa menghasilkan buku teks yang lebih utuh. Kala itu saya menangkap keinginan kuat Pak Boed untuk kembali ke kampus dan menyisihkan waktu lebih banyak menulis buku. Karena itu, ia tak lagi berminat untuk kembali masuk ke pemerintahan setelah masa tugasnya selesai sebagai Menteri Keuangan di bawah pemerintihan Ibu Megawati.

Pak Boed dan Pak Djatun (Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menko Perekonomian) bekerja keras memulihkan stabilitas ekonomi yang “gonjang-ganjing” di bawah pemerintahan Gus Dur. Hasilnya cukup mengesankan. Pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan terus menerus. Di tengah hingar bingar masa kampanye seperti dewasa ini, Ibu Mega ditinggalkan oleh wapresnya, dua menko, dan seorang menteri (Agum Gumelar). Ternyata perekonomian tak mengalami gangguan berarti. Kedua ekonom senior ini bekerja keras mengawal perekonomian. Hasilnya cukup menakjubkan, pertumbuhan ekonomi pada triwulan keempat 2004 mencapai 6,65 persen, tertinggi sejak krisis hingga sekarang.

Selama dua tahun pertama pemerintahan SBY-JK, perekonomian Indonesia mengalami kemunduran. Tatkala muncul gelagat Pak SBY hendak merombak kabinet, sejumlah kawan mengajak Pak Boed bertemu. Niat para kolega ini adalah membujuk Pak Boed agar mau kembali masuk ke pemerintahan seandainya Pak SBY memintanya. Agar lebih afdhol, kolega-kolega saya ini juga mengajak Ibu Boed. Mungkin di benak mereka, Ibu bisa turut luluh dengan pengharapan mereka. Akhirnya, Pak Boed menduduki jabatan Menko Perekonomian. Mungkin sahabat-sahabat saya itu masih terngiang-ngiang sinyal penolakan Pak Boed dengan selalu mengatakan bahwa ia sudah cukup tua dan sekarang giliran yang muda-muda untuk tampil. Memang, Pak Boed selalu memilih ekonom muda untuk mendampinginya: Mas Anggito, Bung Ikhsan, Bung Chatib Basri, Mas Bambang Susantono, dan banyak lagi. Semua mereka lebih atau jauh lebih muda dari saya.

Interaksi langsung terjadi ketika Pak Boed menjadi salah seorang anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN). Saya ketika itu anggota Tim Asistensi Ekonomi Presiden (anggota lainnya adalah Pak Widjojo Nitisastro, Pak Alim Markus, dan Ibu Sri Mulyani Indrawati). Ibu Sri Mulyani memiliki jabatan rangkap (jadi bukan sekarang saja), selain sebagai anggota Tim Asistensi juga menjadi sekretaris DEN. Pak BOed tak pernah mau menonjolkan diri, walau ia sempat jadi menteri pada masa transisi.

Sikap rendah hati itulah yang paling membekas pada saya. Lebih banyak mendengar ketimbang bicara. Kalau ditanya yang “nyerempet-nyerempet,” jawabannya cuma dengan tersenyum. Saya tak pernah dengar Pak Boed menjelek-jelekkan orang lain, bahkan sekedar mengkritik sekalipun.

Tak berarti bahwa Pak Boed tidak tegas. Seorang sahabat yang membantunya di kantor Menko Perekonomian bercerita pada saya ketegasan Pak Boed ketika hendak memutuskan nasib proyek monorel di Jakarta yang sampai sekarang terkatung-katung. Suatu waktu menjelang lebaran, Pak Boed dan sejumlah staf serta, kalau tak salah, Menteri Keuangan dipanggil Wapres. Sebelum meluncur bertemu Wapres, Pak Boed wanti-wanti kepada seluruh stafnya agar kukuh pada pendirian berdasarkan hasil kajian yang mereka telah buat. Pak Boed sempat bertanya kepada jajarannya, kira-kira begini: “Tak ada yang konflik kepentingan, kan? Ayo kita jalan, Bismillah … Keesokan harinya, saya membaca di media massa bahwa sekeluarnya dari ruang pertemuan dengan Wapres, semua mereka berwajah “cemberut” tanpa komentar satu kata pun kepada wartawan.

Adalah Pak Boed pula yang memulai tradisi tak memberikan “amplop” kalau berurusan dengan DPR. Tentang ini, saya dengar sendiri perintahnya kepada Mas Anggito.
Ada dua lagi, setidaknya, pengalaman langsung saya berjumpa dengan Pak Boed. Pertama, satu pesawat dari Jakarta ke Yogyakarta tatkala Pak Boed masih Menteri Keuangan. Berbeda dengan pejabat pada umumnya, Pak Boed dijemput oleh Ibu. Dari kejauhan saya melihat Ibu menyetir sendiri mobil tua mereka.

Kedua, saya dan isteri sekali waktu bertemu Pak Boed dan Ibu di Supermarket dekat kediaman kami. Dengan santai, Pak Boed mendorong keranjang belanja. Rasanya, hampir semua orang di sana tak sadar bahwa si pendorong keranjang itu adalah seorang Menko.

Banyak lagi cerita lain yang saya dapatkan dari berbagai kalangan. Kemarin di bandara Soekarno Hatta setidaknya dua orang (pramugara dan staf ruang tunggu) bercerita pada saya pengalaman mengesankan mereka ketika bertemu Pak Boed. Seperti kebanyakan yang lain, kesan paling mendalam keduanya adalah sikap rendah hati dan kesederhanaannya.

Dua hari lalu saya dapat cerita lain dari pensiunan pejabat tinggi BI. Ia mengalami sendiri bagaimana Pak Boed memangkas berbagai fasilitas yang memang terkesan serba “wah.” Dengan tak banyak cingcong, ia mencoret banyak item di senarai fasilitas. Kalau tak salah, Pak Boed juga menolak mobil dinas baru BI sesuai standar yang berlaku sebelumnya. Entah apa yang terjadi, jangan-jangan mobil para deputi dan deputi senior lebh mewah dari mobil dinas gubernur.
Kalau mau tahu rumah pribadi Pak Boed di Jakarta, datang saja ke kawasan Mampang Prapatan, dekat Hotel Citra II. Kebetulan kantor kami, Pergerakan Indonesia, persis berbelakangan dengan rumah Pak Boed. Rumah itu tergolong sederhana. Bung Ikhsan pernah bercerita pada saya, ia menyaksikan sendiri kursi di rumah itu sudah banyak yang bolong dan lusuh.

Bagaimana sosok seperti itu dituduh sebagai antek-antek IMF, simbol Neoliberalisme yang bakal merugikan bangsa, dan segala tuduhan miring lainnya. Lain kesempatan kita bahas tentang sikap dan falsafah ekonomi Pak Boed. Kali ini saya hanya sanggup bercerita sisi lain dari sosok Pak Boed yang kian terasa langka di negeri ini.

Maju terus Pak Boed. Doa kami senantiasa menyertai kiprah Pak Boed ke depan, bagi kemajuan Bangsa.

Ekonomi Neoliberal, Masih Adakah?

Menarik juga untuk mengikuti perkembangan proses penentuan capres dan cawapres. Begitu SBY mengumumkan memilih Boediono sebagai cawapres, banyak pihak yang tidak setuju dengan Gubernur BI ini menyerang dengan mengatakan bahwa Boediono menganut paham ekonomi Neoliberal. Apa itu paham Neoliberal? Tulisan yang saya copy dari detik.com edisi hari ini rasanya cukup membantu kita untuk memahami wacana ini secara lebih berimbang. Selamat membaca

-------------------------------------
Ekonomi Neoliberal, Masih Adakah?

Jakarta - Kalimat ekonomi neoliberal sedang jadi tren menjelang pemilihan presiden. Mencuatnya Boediono sebagai cawapres pun lantas dikait-kaitkan dengan paham ekonomi neoliberal itu. Benar kah? Bagaimana sebetulnya ekonomi neoliberal ini?

Ekonomi neoliberal diartikan sebagai filosofi ekononomi-politik yang mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestik. Ekonomi neoliberal fokus pada metode pasar bebas dan sangat sedikit membatasi perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi.

Dalam pandangan kepala ekonom Bank Danamon, Anton Gunawan, saat ini susah untuk mencari negara yang menerapkan model ekonomi neoliberal secara murni. Amerika Serikat (AS) yang disebut-sebut menerapkan ekonomi neoliberal sebenarnya tak lagi secara murni menerapkan teori itu.

"AS sebenarnya tidak purely ekonomi neoliberalisme. Segala sesuatunya ada UU. Bahkan sekelas Microsoft pun kena aturan. Mereka sendiri secara relatif kalau bikin spektrumnya relatif sebelah kanan, lebih ke sangat terbuka, sangat bebas. Tapi mereka juga mengimbangi untuk menolong masyarakatnya, dengan modal security system untuk menolong masyarakat yang tidak mampu," urai Anton dalam perbincangannya dengan detikFinance, Kamis (14/5/2009).

Negara mana yang kini menerapkan neoliberalisme? "Sekarang susah kalau mau mencari yang purely neoliberalism," ujar Anton.

Lantas bagaimana dengan Indonesia?Anton menjelaskan, dari banyak sisi, mengkaitkan perekonomian Indonesia dengan paham ekonomi neoliberalisme sangat lah jauh. Salah satu indikator dari ekonomi neoliberalisme adalah seberapa jauh peran negara dalam perekonomian.

Padahal di Indonesia, justru peran pemerintah sangat besar bagi perekonomian Indonesia. Badan-badan usaha pemerintah juga memberikan kontribusi yang cukup besar. Kalau pun mau dilihat dari peran Foreign Direct Investment (FDI) terhadap PDB, nilainya cukup kecil di Indonesia.

"Porsi FDI terhadap PDB di Indonesia tu masih relatif kecil kalau dibandingkan dengan yang lain. Mungkin untuk 2-3 sektor seperti pertambangan, FDI besar, tapi yang lain kan tidak? Bahkan untuk sektor perbankan, bank BUMN justru mendominasi," katanya.

Neoliberalisme juga memberikan batasan-batasan yang sangat kecil bagi pelaku usaha. Sementara di Indonesia pembatasan terhadap pelaku usaha sangat banyak, misalnya dengan kehadiran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

"Di Indonesia, institusi mengambil peran yang penting, sementara neoliberalisme institusi tidak diperhatikan. Padahal kita sangat memperhatikan, contohnya kehadiran KPPU yang menjadi wasit jika ada monopoli," katanya.

Dari sisi utang luar negeri, Anton menjelaskan bahwa saat ini justru sudah dikelola dengan baik meski manajemen utangnya masih perlu ditingkatkan.

"Ke depannya, bagaimana utang itu bisa digunakan dengan lebih efektif. Jadi jangan banyak yang bocor atau terlambat pelaksanaan proyeknya," katanya.

Sosok Boediono, lanjut Anton, justru dikatakan memiliki program yang cukup kuat untuk penurunan utang-utang asing. Seperti diketahui, Boediono ketika tahun 2001-2004 menjabat sebagai Menkeu, memfokuskan perhatian pada konsolidasi fiskal.

"Program utamanya adalah konsolidasi fiskal dalam arti mencoba menyelamatkan fiskal supaya kuat dan kelihatan juga didalamnya penurunan utang-utang luar negeri yang terkait CGI. Kalau kayak gitu berarti dia cukup care dengan soal utang luar negeri," katanya.

Apa sebenarnya paham ekonomi Indonesia? Anton menyebutnya sebagai paham campuran. "Kita menggunkan mekanisme pasar, dimana mekanisme pasar lebih bisa berjalan mendukung efisiensi dan produktivitas, tapi tidak kebablasan dalam artian membiarkan yang besar berkuasa, yang kecil akan mati," katanya.

Terkait rencana SBY memilih Boediono sebagai cawapres, Anton melihatnya dari 3 sisi:
- Pertama, Boediono dinilai sebagai orang yang bersih, anti korupsi dan tidak terlibat bisnis apapun, serta hidupnya penuh kesederhanaan. "Dia bukan tipe orang pebisnis sehingga proyek tidak akan tercampuri oleh dirinya atau keluarganya," jelas Anton.

- Kedua, hal itu menunjukkan bahwa ekonomi masih menjadi prioritas pemerintah dalam 5 tahun ke depan, apalagi di tengah situasi krisis.

- Ketiga, untuk meredam pertikaian antara parpol yang memperebutkan posisi tersebut.

Kamis, 12 Februari 2009

Lebih Sehat dengan Mengukus Makanan


Siapa yang tak suka ikan bakar atau daging panggang? Rasa gurih dipadu dengan saus yang manis ditambah sambal yang pas tingkat kepedasannya membuat kita menelan ludah. Namun, makanan yang diolah seperti ini, kita semua tahu, sebenarnya kurang memberikan manfaat bagi kesehatan. Kecuali, tentunya, urusan kenyamanan di lidah. Mengukus makanan lebih disarankan. Mengapa demikian?


Sayuran yang dikukus menggunakan alat pengukus makanan dapat mempertahankan kandungan flavanol (konsentrat alami dari tumbuhan yang dapat berfungsi sebagai antioksidan) dan vitamin. Jadi, daripada Anda mengonsumsi sayuran mentah, seperti lalapan, memasak dengan cara mengukusnya jauh lebih baik.


Selain sayuran, bahan makanan yang juga baik dimasak dengan cara dikukus adalah ikan. Ikan kukus akan mempertahankan cita rasa dan kandungan gizi seperti asam lemak Omega-3 yang ditemukan dalam semua makanan laut. Dengan mengukus, daging ikan tidak akan hancur selama proses memasak dalam food steamer. Bandingkan jika Anda merebus, memanggang, menumis, atau memanaskan ikan dengan cara lain. Ikan akan kehilangan gizinya.


Dengan mengukus makanan menjadi bebas lemak, dan menjadi lebih sedap. Tentu, kita yang terbiasa menggoreng atau membakar ikan akan sulit menikmati ikan kukusan pada awalnya. Namun hal ini merupakan perubahan yang sederhana dari kebiasaan atau pola makan kita yang kurang sehat.


Melindungi vitamin dan mineral


Tak hanya sayuran dan lauk-pauk, jenis karbohidrat seperti beras merah sebaiknya juga dimasak dalam food steamer karena ini satu-satunya metode memasak yang menjamin penyimpanan vitamin B1 yang kaya akan vitamin dan garam mineral. Pengukus makanan akan meminimalisasi risiko kehilangan vitamin penting dan gizi. Sedangkan membakar makanan akan menghancurkan sebagian besar keuntungan dari sisi kesehatan.


Makanan yang dikukus hanya akan mengurangi asam folat sebanyak 15%. Bandingkan dengan merebus yang akan mengurangi asam folat hingga 35%. Kandungan vitamin C pada makanan kukusan juga hanya berkurang 15%, sedangkan merebus akan menghilangkan vitamin C sebanyak 25%.


Anda juga tak perlu mengkhawatirkan hal-hal lain seperti rasa yang akan tercampur jika mengukus dua atau lebih jenis sayuran dalam pengukus makanan yang sama. Kecuali Anda terlalu lama mengukus, makanan tidak akan hancur. Mengukus juga lebih praktis karena Anda tak perlu menyaring makanan. Makanan pun lebih cepat matang.


Jenis makanan yang bisa dikukus:


1. Sayuran seperti wortel, kentang, parsnip (semacam wortel), buncis, dan lain sebagainya. Sayuran hijau biasanya akan sedikit berubah warnanya. Kentang yang dikukus bersama dengan kulitnya juga lebih mudah dikupas.


2. Kebanyakan ikan dapat dikukus seluruhnya, atau dibuat fillet lebih dulu. Bumbui ikan dengan ringan, lalu tetesi dengan lemon untuk menghilangkan amis.


3. Potongan daging sapi atau unggas dapat dikukus karena merebus dan memasaknya butuh waktu yang sama. Merebus daging memang sehat, namun cenderung mengurangi cita rasa. Tak heran kadang-kadang Anda butuh saus untuk membuatnya lebih sedap.


4. Dimsum, atau dumpling (semacam siomay atau bakpao) tentu juga perlu dimasak dengan cara dikukus.

din

Sumber : Glamour

kompas.com edisi 13 Februari 2009

Kamis, 15 Januari 2009

Syukuri AnugerahNya: Terinspirasi Puisi dari Seorang Sahabat

Istri saya kadang mengeluh ke saya. Katanya, "Pa, kamu ini lho, kok ga ada romantis-romatisnya?". Dia merasakan kasih sayang saya masih kurang lengkap kalau tidak dibumbui kata-kata puitis. Yah, mau apalagi. Saya emang sudah dari sononya begini. Saya merasa Tuhan menghadirkan saya di bumi ini dengan kekurangan dalam bidang yang satu itu. Saya merasa saya ini orang yang apa adanya. Logis, lebih cepat menangkap yang tersurat daripada yang tersirat. Kurang lebih, saya menilai diri saya sebagai orang sains. Saya tidak mampu merangkai kata yang indah sarat makna. Saya selalu mencoba menempatkan segala sesuatu secara logika. Bagi saya, wujud kasih sayang itu adalah perbuatan. Loving is doing, I do care, bukan Loving is talking atau I speak about caring. Anda boleh mendebat pendapat saya, tapi itulah saya.

Hanya satu hal yang saya luputkan dari kerangka logika saya, yakni agama yang saya imani. Saya percaya agama tidak untuk dimengerti, namun untuk dipercaya.

Walau demikian saya selalu mencoba untuk belajar menangkap makna yang tersirat dari sebuah karya sastra maupun karya seni. Kolom sastra di Bali Post edisi minggu memang menjadi salah satu menu favorit saya. Pelan-pelan saya juga memulai untuk membiasakan diri untuk menikmati karya seni, terutama lukisan. Jika ada waktu senggang saya senang juga kalau bisa melihat-lihat pameran lukisan. Sejak kecil saya memang senang ‘megambel’(menabuh gambelan Bali) dan sampai saat ini saya masih sangat menikmati saat-saat menabuh dengan rekan-rekan di kampung pada saat upacara adat. Dengan menambah kegiatan-kegiatan di bidang apresiasi seni saya berharap dapat menghaluskan rasa dan nurani.

Saya percaya dan yakin bahwa setiap orang dianugerahi olehNya kemampuan yang berbeda-beda sehingga kita akhirnya dipaksa untuk saling membutuhkan. Sekarang terserah kita, apa mau menelantarkan anugerah itu atau rajin memberinya makanan yang bergizi supaya ia tumbuh berkembang dengan sehat. Hanya kita yang bisa memutuskan.

Hari ini saya mendapat kiriman tiga buah puisi tanpa judul dari seorang sahabat. Seorang sahabat yang sudah saya kenal sejak lima tahun, kurang lebih. Saat itu kami sama-sama bekerja di sebuah hotel di Ubud. Namun sekarang kami bekerja di tempat yang berbeda walaupun sama-sama di Sanur. Saya mengelola sebuah hotel boutique, sedangkan sahabat tadi bekerja di sebuah hotel besar di Sanur sebagai sekretaris GM.

Selama ini saya tidak pernah tahu bahwa ternyata dia punya kemampuan yang cukup lumayan untuk mengarang puisi. Entahlah bagi orang lain, bagi saya puisi-puisinya sangat bagus dan sarat makna. Mungkin karena saya ini orang yang awam puisi barangkali. Ini dia puisinya:

Dia terikat dalam gelap
Terbuai dalam rasa
Dia terikat dalam harap
Terbuai dalam kata
Ketika gelap tak lagi memberi rasa
Ketika harap tak lagi berkata
Dia tetap terikat
Dia tetap dalam gelap

Inspired by Dwi

=====

Dia.....
Berjalan dalam aspal
Menari dalam rintikan
Bertahan dalam terjal
Tergelincir dalam percikan

Dia.....
Terbawa mengikutinya
Bertahan bersamanya
Tertawa menemaninya
Bersama selamanya
Hingga Ia tak lagi sanggup bertahan dalam terjal
Hingga Ia tak lagi mampu bertahan dalam rintihan

Dia.....
kini terdiam....
Tak ada lagi yang membawanya...

Inspired by Dwi (Jan'08)

=====

Kala gelap telah bersinar
Pancarannya memantulkan
Kala sunyi telah berdetak
Getarannya meluluhkan
Gelap itu kini bercahaya
Sunyi itu kini bermakna
Telah hadir sinar dalam gelap
Telah hadir detak dalam sunyi
Cahaya dalam gelap yang bermakna dalam sunyi....

Inspired by Dwi

Saya silakan Anda untuk memaknai sebebas-bebasnya. Saya hanya berusaha untuk mengasah rasa. Satu hal lagi yang ingin selalu saya ingat ‘Syukuri anugerah yang sudah kamu terima, jangan menyesali diri karena apa yang kamu inginkan belum terpenuhi’. Jadi, kepada sahabatku Dwi, asah terus kemampuanmu menulis puisi ya. Nanti pasti berguna.

Baliku sayang, sudahkan kau mensyukuri dan merawat anugerahNya?

Senin, 12 Januari 2009

Bali Kebanjiran

Sebagai orang Bali yang sudah hidup selama 38 tahun di pulau mungil ini, mendengar kata banjir atau mengalami banjir adalah hal yang sangat jarang bagi saya. Namun, apa mau dikata karena kata banjir sejak dua tahun belakangan semakin sering saya dengar dan alami.

Minggu pagi kemarin, Era (Sales Manager saya) mengirimkan pesan singkat ke ponsel saya. Isinya begini: ‘Belum pernah seumur hidup saya mengalami kebanjiran. Jam 2 pagi kamar saya kebocoran, tertidur lagi di pojok tempat tidur karena sebagian dah basah. Terbangun jam 6 tempat tidur udah ngambang. Air masuk ke dalam rumah hampir selutut. Di jalan depan rumah sampai sepaha orang dewasa. Cuaca juga masih hujan terus. Tidak bisa ke kamar mandi karena WC meluap. Syukur listrik masih menyala dan rumah tingkat, jadi bisa ngungsi di lantai dua.HP dan laptop selamat. Mobil belum bisa lihat karena belum ada yang keluar rumah. Sampai sekarang air masih naik terus di dalam rumah. Era di Sanur Bali’.

Saya pun menjawab SMS itu sekenanya seperti ini: 'Seperti cerita novel. Saatnya untuk pindah kos'. Dalam hati saya merasa prihatin juga. Era bergabung dengan perusahaan tempat saya bekerja tiga bulan yang lalu. Saya yakin bekerja di Bali buat dia adalah impian yang menjadi kenyataan. Sebelumnya dia kerja di Malang, yang saya yakin tidak pernah kebanjiran. Bali yang baginya merupakan pulau yang indah ternyata tidak seindah yang di tulis media. Dalam pesan singkat di atas tersirat rasa kecewa.

Awalnya saya pikir banjir hanya terjadi di tempatnya Era, di kawasan Sanur, yang memang dekat dengan muara sungai. Eh ternyata saya salah. Di Bali Post tadi pagi saya baca banjir terjadi di beberapa tempat. Denpasar, Sanur,Kuta, Gianyar dan Ubud banyak banjir juga. Tujuh mobil tenggelam, korban ditelantarkan, demikian judul headlinenya. Dalam hati saya merasa trenyuh. Ke mana Baliku yang dulu? Bali yang tidak pernah banjir.

Lalu apa sih kira-kira penyebabnya?

Saya coba untuk menghubung-hubungkan beberapa fakta yang ada. Di bawah ini hasil analisa saya:

1. Daerah resapan yang makin sempit.
Semakin bertambahnya penduduk Denpasar, Kuta dan daerah lainnya membuat semakin banyak daerah yang dulunya sawah maupun tegalan yang beralih fungsi menjadi perumahan dan perkantoran. Besarnya pertambahan penduduk lebih banyak disebabkan oleh kedatangan kaum pendatang dari kabupaten lain di Bali maupun dari daerah luar Bali. Perumahan type kecil banyak bermunculan untuk menjawab kebutuhan. Dengan tanah yang hanya 70 sampai dengan 100 meter persegi, penghuni cenderung memanfaatkan semua lahan pekarangan dengan maksimal. Setiap jengkal tanah dipasangi paving block sehingga area resapan air makin berkurang.

2. Kurangnya kesadaran masyarakat memelihara saluran drainase.
Saya yang sehari-hari hidup di Denpasar sudah sangat hafal dengan prilaku buruk dari sebagian masyrakat kita. Kebiasaan membuang sampah ke selokan maupun sungai sudah menjadi pemandangan umum. Orang yang membangun rumah baru, hanya memperhatikan sisi arsitekturnya saja. Ke mana larinya air hujan tidak pernah dipikirkan. Pengembang perumahan juga sama saja. Jalan dibuat mulus, gerbang masuk kawasan terlihat megah namun sistem drainase tidak jelas pengaturannya dan selalu luput dari perencanaan.

3. Lemahnya pengawasan pemerintah terutama dalam pengembangan wilayah pemukiman baru.
Coba perhatikan daerah pemukiman baru di sekitar Denpasar. Bukan hanya jalannya yang sempit dan berliku-liku, got juga tidak ada. Jadi kalau hujan, jalan berubah jadi sungai. Pemukim yang memdirikan bangunan juga tidak peduli dengan saluran drainase. Kalaupun mereka membuat saluran pembuangan, itupun dibuatnya tanpa keterpaduan dengan tetangga sebelah. Ukurannya juga hanya sekedarnya. Pengawasan dari pemerintah daerah juga nihil. Mestinya untuk urusan ini difasilitasi oleh pemerintah. Pemukim yang biasanya berasal dari beragam latar belakang tentunya tidak mampu untuk mengelola permasalahan yang bersifat publik seperti ini. Apalagi menegur dan memberi sanksi kepada warga yang melanggar.

Jalan di depan kantor saya sekarang jadi langganan banjir setiap tahun. Saya amati semakin tahun semakin parah. Saya yakin ketiga faktor di atas adalah jawaban dari fenomena ini.

Sebagai daerah destinasi wisata dunia, Bali mestinya berbenah. Banjir ini menjadi acara rutin tahunan dan beritanya sampai meluas tentu akan memberi citra negatif bagi Bali. Belum lagi beberapa berita bernada minor lainnya seperti rabies, kemacetan lalu lintas dan tindak criminal yang menimpa wisatawan asing. Kondisi pariwisata Bali yang saat ini sedang lesu karena krisis ekonomi global akan semakin terperosok ke jurang yang lebih dalam kalau masalah-masalah tersebut tidak kita atasi.

Sabtu, 03 Januari 2009

Laskar Pelangi


‘Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya’.
Kepala Sekolah SD Muhammadyah Desa Gantong

Kalimat itulah yang selalu terngiang di telinga saya setelah kemarin menonton film laksar pelangi dengan istri dan anak-anak saya. Film dengan latar belakang Pulau Belitung tahun 1979 itu benar-benar menyentuh hati saya. Saya begitu larut dalam alur cerita yang memukau, bercampur antara sedih, gembira dan terkadang mengundang tawa. Tak terasa beberapa bulir air mata membasahi sudut mata saya yang sudah semakin dewasa ini. Benar-benar menginspirasi.

Ini adalah kisah betapa lebarnya kesenjangan antara kaum miskin dan kaya di sebuah pulau yang kaya dengan timah. Terasa sekali bahwa pembangunan hanya menguntungkan sebagian lapisan masyarakat, sementara sebagian lapisan masyarakat lainnya hanya sebagai penonton dan terpinggirkan, hidup dalam kemiskinan.

Hikmah apa yang saya petik dari cerita film ini?

1. Pak Kepala Sekolah, Ibu Guru Mus dan Pak Zulkarnain (yang setia memberikan bantuan agar sekolah masih tetap berjalan) menginspirasi saya untuk merenungi kembali arti hidup. Seperti kalimat yang saya petik di awal tadi, saya ingin mengabdikan hidup saya ini untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.

Mereka bertiga menginspirasi saya bahwa pendidikan bukanlah diukur dengan deretan angka-angka. Hendaklah pendidikan lebih menonjolkan nilai-nilai kemanusiaan dan mengedepankan hati.

2. Anak-anak laskar pelangi, (Lintang, Ikal, Mahar dkk) mengingatkan saya kembali akan masa kecil saya. Masa kecil yang sangat bersahaja, sarat dengan keterbatasan namun penuh kegembiraan, semangat pantang menyerah dan kebersamaan. Bahwa sukses tidak semata-mata ditentukan oleh fasilitas, namun oleh sikap yang ada dalam diri kita.

3. Guru SD PN yang diperankan oleh Tora Sudiro (maaf saya lupa namanya) mengingatkan kita akan pentingnya sikap kesatria. Di saat detik-detik akhir lomba cerdas cermat antar SD, di mana SD Muhammadyah dan SD PN memiliki angka yang sama, Lintang berhasil menjawab pertanyaan matematika yang kemudian dinyatakan salah oleh tim juri. Saat itu Guru Tora (?) dengan kesatria mengakui bahwa jawaban yang diberikan Lintang itu sama dengan hasil hitungannya, yang menurutnya benar. Jika saja Pak Guru ini diam, maka kemenangan akan diraih sekolahnya karena SD Muhammadyah akan dikurangi nilainya. Di masa saat ini kita merindukan orang-orang yang secara kesatria menyuarakan kebenaran walaupun hal itu berarti merugikan dirinya.

4. Dari sosok Lintang saya belajar banyak tentang arti kerja keras dan semangat pantang menyerah. Lintang, seorang anak dari kampung nelayan setiap hari harus menempuh perjalanan dengan naik sepeda sejauh puluhan kilometer menuju sekolahnya. Ibunya yang sudah tiada membuat lintang setiap hari juga harus mengurusi tiga adik perempuannya saat ditinggal ayahnya yang pergi melaut. Setiap hari juga, di suatu tempat dalam perjalanannya dia harus dengan sabar menunggu buaya yang melintasi jalan setapak yang ia lalui.

Yang paling menyentuh adalah ketika Lintang yang sedang bersiap-siap untuk berangkat untuk ikut lomba cerdas cermat diminta oleh ayahnya untuk menjaga adik-adiknya karena akan segera berangkat melaut. Teryata itulah pertemuan terakhir Lintang dengan ayahnya. Lintang yang jenius, yang mampu mengerjakan soal matematika tingkat tinggi hanya dengan memejamkan mata, harus berhenti bersekolah demi menggantikan peran ayahnya untuk mencari nafkah buat adik-adiknya. Sungguh sebuah gambaran yang sangat ironis di negeri yang katanya kaya ini.

Hidup dengan lebih banyak memberi terasa begitu indah. Memberi tidak hanya berarti memberi secara materi. Itu hanya salah satunya, masih ada ribuan cara lainnya untuk memberi.

Laskar Pelangi bukan film hiburan semata. Cerita yang diangkat dari novel karya Andre Hirata ini merupakan makanan yang amat bergizi bagi jiwa kita. Sebuah karya fenomenal dari anak bangsa. Semoga akan lahir lagi karya-karya inspiratif seperti ini di masa-masa yang akan datang.

Untuk Bali-ku tersayang... Mudah-mudahan apa yang terjadi di Belitung tidak terjadi di pulau tercinta ini. Saatnya semua anak pulau ini menikmati kesempatan belajar yang sama, tidak pandang dia miskin atau kaya. Akankah bisa terwujud?