Kamis, 15 Januari 2009

Syukuri AnugerahNya: Terinspirasi Puisi dari Seorang Sahabat

Istri saya kadang mengeluh ke saya. Katanya, "Pa, kamu ini lho, kok ga ada romantis-romatisnya?". Dia merasakan kasih sayang saya masih kurang lengkap kalau tidak dibumbui kata-kata puitis. Yah, mau apalagi. Saya emang sudah dari sononya begini. Saya merasa Tuhan menghadirkan saya di bumi ini dengan kekurangan dalam bidang yang satu itu. Saya merasa saya ini orang yang apa adanya. Logis, lebih cepat menangkap yang tersurat daripada yang tersirat. Kurang lebih, saya menilai diri saya sebagai orang sains. Saya tidak mampu merangkai kata yang indah sarat makna. Saya selalu mencoba menempatkan segala sesuatu secara logika. Bagi saya, wujud kasih sayang itu adalah perbuatan. Loving is doing, I do care, bukan Loving is talking atau I speak about caring. Anda boleh mendebat pendapat saya, tapi itulah saya.

Hanya satu hal yang saya luputkan dari kerangka logika saya, yakni agama yang saya imani. Saya percaya agama tidak untuk dimengerti, namun untuk dipercaya.

Walau demikian saya selalu mencoba untuk belajar menangkap makna yang tersirat dari sebuah karya sastra maupun karya seni. Kolom sastra di Bali Post edisi minggu memang menjadi salah satu menu favorit saya. Pelan-pelan saya juga memulai untuk membiasakan diri untuk menikmati karya seni, terutama lukisan. Jika ada waktu senggang saya senang juga kalau bisa melihat-lihat pameran lukisan. Sejak kecil saya memang senang ‘megambel’(menabuh gambelan Bali) dan sampai saat ini saya masih sangat menikmati saat-saat menabuh dengan rekan-rekan di kampung pada saat upacara adat. Dengan menambah kegiatan-kegiatan di bidang apresiasi seni saya berharap dapat menghaluskan rasa dan nurani.

Saya percaya dan yakin bahwa setiap orang dianugerahi olehNya kemampuan yang berbeda-beda sehingga kita akhirnya dipaksa untuk saling membutuhkan. Sekarang terserah kita, apa mau menelantarkan anugerah itu atau rajin memberinya makanan yang bergizi supaya ia tumbuh berkembang dengan sehat. Hanya kita yang bisa memutuskan.

Hari ini saya mendapat kiriman tiga buah puisi tanpa judul dari seorang sahabat. Seorang sahabat yang sudah saya kenal sejak lima tahun, kurang lebih. Saat itu kami sama-sama bekerja di sebuah hotel di Ubud. Namun sekarang kami bekerja di tempat yang berbeda walaupun sama-sama di Sanur. Saya mengelola sebuah hotel boutique, sedangkan sahabat tadi bekerja di sebuah hotel besar di Sanur sebagai sekretaris GM.

Selama ini saya tidak pernah tahu bahwa ternyata dia punya kemampuan yang cukup lumayan untuk mengarang puisi. Entahlah bagi orang lain, bagi saya puisi-puisinya sangat bagus dan sarat makna. Mungkin karena saya ini orang yang awam puisi barangkali. Ini dia puisinya:

Dia terikat dalam gelap
Terbuai dalam rasa
Dia terikat dalam harap
Terbuai dalam kata
Ketika gelap tak lagi memberi rasa
Ketika harap tak lagi berkata
Dia tetap terikat
Dia tetap dalam gelap

Inspired by Dwi

=====

Dia.....
Berjalan dalam aspal
Menari dalam rintikan
Bertahan dalam terjal
Tergelincir dalam percikan

Dia.....
Terbawa mengikutinya
Bertahan bersamanya
Tertawa menemaninya
Bersama selamanya
Hingga Ia tak lagi sanggup bertahan dalam terjal
Hingga Ia tak lagi mampu bertahan dalam rintihan

Dia.....
kini terdiam....
Tak ada lagi yang membawanya...

Inspired by Dwi (Jan'08)

=====

Kala gelap telah bersinar
Pancarannya memantulkan
Kala sunyi telah berdetak
Getarannya meluluhkan
Gelap itu kini bercahaya
Sunyi itu kini bermakna
Telah hadir sinar dalam gelap
Telah hadir detak dalam sunyi
Cahaya dalam gelap yang bermakna dalam sunyi....

Inspired by Dwi

Saya silakan Anda untuk memaknai sebebas-bebasnya. Saya hanya berusaha untuk mengasah rasa. Satu hal lagi yang ingin selalu saya ingat ‘Syukuri anugerah yang sudah kamu terima, jangan menyesali diri karena apa yang kamu inginkan belum terpenuhi’. Jadi, kepada sahabatku Dwi, asah terus kemampuanmu menulis puisi ya. Nanti pasti berguna.

Baliku sayang, sudahkan kau mensyukuri dan merawat anugerahNya?

Senin, 12 Januari 2009

Bali Kebanjiran

Sebagai orang Bali yang sudah hidup selama 38 tahun di pulau mungil ini, mendengar kata banjir atau mengalami banjir adalah hal yang sangat jarang bagi saya. Namun, apa mau dikata karena kata banjir sejak dua tahun belakangan semakin sering saya dengar dan alami.

Minggu pagi kemarin, Era (Sales Manager saya) mengirimkan pesan singkat ke ponsel saya. Isinya begini: ‘Belum pernah seumur hidup saya mengalami kebanjiran. Jam 2 pagi kamar saya kebocoran, tertidur lagi di pojok tempat tidur karena sebagian dah basah. Terbangun jam 6 tempat tidur udah ngambang. Air masuk ke dalam rumah hampir selutut. Di jalan depan rumah sampai sepaha orang dewasa. Cuaca juga masih hujan terus. Tidak bisa ke kamar mandi karena WC meluap. Syukur listrik masih menyala dan rumah tingkat, jadi bisa ngungsi di lantai dua.HP dan laptop selamat. Mobil belum bisa lihat karena belum ada yang keluar rumah. Sampai sekarang air masih naik terus di dalam rumah. Era di Sanur Bali’.

Saya pun menjawab SMS itu sekenanya seperti ini: 'Seperti cerita novel. Saatnya untuk pindah kos'. Dalam hati saya merasa prihatin juga. Era bergabung dengan perusahaan tempat saya bekerja tiga bulan yang lalu. Saya yakin bekerja di Bali buat dia adalah impian yang menjadi kenyataan. Sebelumnya dia kerja di Malang, yang saya yakin tidak pernah kebanjiran. Bali yang baginya merupakan pulau yang indah ternyata tidak seindah yang di tulis media. Dalam pesan singkat di atas tersirat rasa kecewa.

Awalnya saya pikir banjir hanya terjadi di tempatnya Era, di kawasan Sanur, yang memang dekat dengan muara sungai. Eh ternyata saya salah. Di Bali Post tadi pagi saya baca banjir terjadi di beberapa tempat. Denpasar, Sanur,Kuta, Gianyar dan Ubud banyak banjir juga. Tujuh mobil tenggelam, korban ditelantarkan, demikian judul headlinenya. Dalam hati saya merasa trenyuh. Ke mana Baliku yang dulu? Bali yang tidak pernah banjir.

Lalu apa sih kira-kira penyebabnya?

Saya coba untuk menghubung-hubungkan beberapa fakta yang ada. Di bawah ini hasil analisa saya:

1. Daerah resapan yang makin sempit.
Semakin bertambahnya penduduk Denpasar, Kuta dan daerah lainnya membuat semakin banyak daerah yang dulunya sawah maupun tegalan yang beralih fungsi menjadi perumahan dan perkantoran. Besarnya pertambahan penduduk lebih banyak disebabkan oleh kedatangan kaum pendatang dari kabupaten lain di Bali maupun dari daerah luar Bali. Perumahan type kecil banyak bermunculan untuk menjawab kebutuhan. Dengan tanah yang hanya 70 sampai dengan 100 meter persegi, penghuni cenderung memanfaatkan semua lahan pekarangan dengan maksimal. Setiap jengkal tanah dipasangi paving block sehingga area resapan air makin berkurang.

2. Kurangnya kesadaran masyarakat memelihara saluran drainase.
Saya yang sehari-hari hidup di Denpasar sudah sangat hafal dengan prilaku buruk dari sebagian masyrakat kita. Kebiasaan membuang sampah ke selokan maupun sungai sudah menjadi pemandangan umum. Orang yang membangun rumah baru, hanya memperhatikan sisi arsitekturnya saja. Ke mana larinya air hujan tidak pernah dipikirkan. Pengembang perumahan juga sama saja. Jalan dibuat mulus, gerbang masuk kawasan terlihat megah namun sistem drainase tidak jelas pengaturannya dan selalu luput dari perencanaan.

3. Lemahnya pengawasan pemerintah terutama dalam pengembangan wilayah pemukiman baru.
Coba perhatikan daerah pemukiman baru di sekitar Denpasar. Bukan hanya jalannya yang sempit dan berliku-liku, got juga tidak ada. Jadi kalau hujan, jalan berubah jadi sungai. Pemukim yang memdirikan bangunan juga tidak peduli dengan saluran drainase. Kalaupun mereka membuat saluran pembuangan, itupun dibuatnya tanpa keterpaduan dengan tetangga sebelah. Ukurannya juga hanya sekedarnya. Pengawasan dari pemerintah daerah juga nihil. Mestinya untuk urusan ini difasilitasi oleh pemerintah. Pemukim yang biasanya berasal dari beragam latar belakang tentunya tidak mampu untuk mengelola permasalahan yang bersifat publik seperti ini. Apalagi menegur dan memberi sanksi kepada warga yang melanggar.

Jalan di depan kantor saya sekarang jadi langganan banjir setiap tahun. Saya amati semakin tahun semakin parah. Saya yakin ketiga faktor di atas adalah jawaban dari fenomena ini.

Sebagai daerah destinasi wisata dunia, Bali mestinya berbenah. Banjir ini menjadi acara rutin tahunan dan beritanya sampai meluas tentu akan memberi citra negatif bagi Bali. Belum lagi beberapa berita bernada minor lainnya seperti rabies, kemacetan lalu lintas dan tindak criminal yang menimpa wisatawan asing. Kondisi pariwisata Bali yang saat ini sedang lesu karena krisis ekonomi global akan semakin terperosok ke jurang yang lebih dalam kalau masalah-masalah tersebut tidak kita atasi.

Sabtu, 03 Januari 2009

Laskar Pelangi


‘Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya’.
Kepala Sekolah SD Muhammadyah Desa Gantong

Kalimat itulah yang selalu terngiang di telinga saya setelah kemarin menonton film laksar pelangi dengan istri dan anak-anak saya. Film dengan latar belakang Pulau Belitung tahun 1979 itu benar-benar menyentuh hati saya. Saya begitu larut dalam alur cerita yang memukau, bercampur antara sedih, gembira dan terkadang mengundang tawa. Tak terasa beberapa bulir air mata membasahi sudut mata saya yang sudah semakin dewasa ini. Benar-benar menginspirasi.

Ini adalah kisah betapa lebarnya kesenjangan antara kaum miskin dan kaya di sebuah pulau yang kaya dengan timah. Terasa sekali bahwa pembangunan hanya menguntungkan sebagian lapisan masyarakat, sementara sebagian lapisan masyarakat lainnya hanya sebagai penonton dan terpinggirkan, hidup dalam kemiskinan.

Hikmah apa yang saya petik dari cerita film ini?

1. Pak Kepala Sekolah, Ibu Guru Mus dan Pak Zulkarnain (yang setia memberikan bantuan agar sekolah masih tetap berjalan) menginspirasi saya untuk merenungi kembali arti hidup. Seperti kalimat yang saya petik di awal tadi, saya ingin mengabdikan hidup saya ini untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.

Mereka bertiga menginspirasi saya bahwa pendidikan bukanlah diukur dengan deretan angka-angka. Hendaklah pendidikan lebih menonjolkan nilai-nilai kemanusiaan dan mengedepankan hati.

2. Anak-anak laskar pelangi, (Lintang, Ikal, Mahar dkk) mengingatkan saya kembali akan masa kecil saya. Masa kecil yang sangat bersahaja, sarat dengan keterbatasan namun penuh kegembiraan, semangat pantang menyerah dan kebersamaan. Bahwa sukses tidak semata-mata ditentukan oleh fasilitas, namun oleh sikap yang ada dalam diri kita.

3. Guru SD PN yang diperankan oleh Tora Sudiro (maaf saya lupa namanya) mengingatkan kita akan pentingnya sikap kesatria. Di saat detik-detik akhir lomba cerdas cermat antar SD, di mana SD Muhammadyah dan SD PN memiliki angka yang sama, Lintang berhasil menjawab pertanyaan matematika yang kemudian dinyatakan salah oleh tim juri. Saat itu Guru Tora (?) dengan kesatria mengakui bahwa jawaban yang diberikan Lintang itu sama dengan hasil hitungannya, yang menurutnya benar. Jika saja Pak Guru ini diam, maka kemenangan akan diraih sekolahnya karena SD Muhammadyah akan dikurangi nilainya. Di masa saat ini kita merindukan orang-orang yang secara kesatria menyuarakan kebenaran walaupun hal itu berarti merugikan dirinya.

4. Dari sosok Lintang saya belajar banyak tentang arti kerja keras dan semangat pantang menyerah. Lintang, seorang anak dari kampung nelayan setiap hari harus menempuh perjalanan dengan naik sepeda sejauh puluhan kilometer menuju sekolahnya. Ibunya yang sudah tiada membuat lintang setiap hari juga harus mengurusi tiga adik perempuannya saat ditinggal ayahnya yang pergi melaut. Setiap hari juga, di suatu tempat dalam perjalanannya dia harus dengan sabar menunggu buaya yang melintasi jalan setapak yang ia lalui.

Yang paling menyentuh adalah ketika Lintang yang sedang bersiap-siap untuk berangkat untuk ikut lomba cerdas cermat diminta oleh ayahnya untuk menjaga adik-adiknya karena akan segera berangkat melaut. Teryata itulah pertemuan terakhir Lintang dengan ayahnya. Lintang yang jenius, yang mampu mengerjakan soal matematika tingkat tinggi hanya dengan memejamkan mata, harus berhenti bersekolah demi menggantikan peran ayahnya untuk mencari nafkah buat adik-adiknya. Sungguh sebuah gambaran yang sangat ironis di negeri yang katanya kaya ini.

Hidup dengan lebih banyak memberi terasa begitu indah. Memberi tidak hanya berarti memberi secara materi. Itu hanya salah satunya, masih ada ribuan cara lainnya untuk memberi.

Laskar Pelangi bukan film hiburan semata. Cerita yang diangkat dari novel karya Andre Hirata ini merupakan makanan yang amat bergizi bagi jiwa kita. Sebuah karya fenomenal dari anak bangsa. Semoga akan lahir lagi karya-karya inspiratif seperti ini di masa-masa yang akan datang.

Untuk Bali-ku tersayang... Mudah-mudahan apa yang terjadi di Belitung tidak terjadi di pulau tercinta ini. Saatnya semua anak pulau ini menikmati kesempatan belajar yang sama, tidak pandang dia miskin atau kaya. Akankah bisa terwujud?