Kamis, 07 Maret 2013

Nyepi di Hotel Yuukkk!


Seperti tahun-tahun sebelumnya, hari-hari ini email saya dipenuhi oleh informasi yang menawarkan paket Nyepi di hotel-hotel berbintang yang ada di Bali. Sebagian besar menawarkan paket menginap 2 malam lengkap dengan makan minum dan segudang fasilitas rekreasi. Mungkin nampak biasa bagi orang kebanyakan karena paket ini menawarkan kenyamanan bagi umat yang beragama lain yang tinggal di pulau mungil ini untuk menghindar dari keharusan untuk menderita (dalam tanda kutip) pada saat Nyepi dengan mengungsi ke hotel. Tapi yang cukup membuat sedih adalah banyak juga orang Bali yang notabene Hindu yang ikut tergoda rayuan ini. Banyak rekan yang bahkan sengaja 'escape' menghilang dari Bali pada momen tahunan ini sekedar untuk menjauh dari keharusan untuk bergelap gulita, berdiam di rumah seharian. Jauh sebelum Nyepi mereka sudah memesan tiket ke Singapura, Jakarta ataupun kota-kota di Jawa.

Nyepi yang seharusnya menjadi momentum untuk berkontemplasi saat ini sudah menjadi sebuah rutinitas belaka setiap tahunnya. Nampak meriah di sisi luar dengan semaraknya pawai Ogoh-Ogoh namun di sisi dalam ia semakin kehilangan makna. Dan saya pun menduga ini adalah efek negatif dari pariwisata materialistis yang saat ini sedang kita kembangkan. Ataukah ini pertanda hegemoni budaya hedonis yang kini menjadi agama baru kaum kita?

Tanpa bermaksud menggurui, bagi saya Nyepi adalah sebuah momen yang sangat istimewa. Hanya di hari itu saya bisa lagi mendengar nyanyian burung, desir angin, gemericik air dan suara-suara alam lainnya yang setiap hari kalah dengan deru roda kehidupan di tempat tinggal saya di Denpasar. Di hari itu kami sekeluarga biasanya hadir lengkap. Di hari itu dunia seakan berhenti berputar, memberi ruang bagi kita untuk merenungkan makna sejati kehidupan. Hari itu bukanlah penderitaan, hari itu adalah kesempatan yang amat langka.

Selamat hari raya Nyepi tahun Caka 1935.