Rabu, 09 April 2014

Empat Syarat Menjadi Caleg yang Dicintai Pemilih (Catatan Pemilu Legislatif 2014)





Ah, biasa saja.


Itu kesan saya tentang Pemilu Legislatif 2014 yang dilaksanakan hari ini, 9 April 2014. Sebagai warga negara yang baik saya sudah menggunakan hak pilih saya secara bertanggungjawab jam 8 pagi tadi di TPS 17 di Balai Banjar Kehen, Desa Kesiman Petilan, Denpasar Timur. Seperti pemilu-pemilu dan pemilukada yang lalu, kita pakai pakaian adat Bali tingkat madya. Nuansa Balinya kental banget. Maka tuntas sudah kewajiban untuk memilih wakil yang akan duduk di DPRD Kota Denpasar, DPRD Bali, DPR Pusat dan DPD yang akan mewakili Bali.

Jadi sekali lagi biasa-biasa saja kesannya. Tidak seseram dulu waktu jam Pak Harto. Tidak ada ketegangan, tidak ada deg-degannya. Panitia TPS, pemilih, pemantau semuanya saling melempar senyum, suasananya adem. Saksi yang dikirim partai juga sangat santai. Ada dua saksi kakak beradik menjadi saksi dari dua partai berbeda. Tidak masalah. Fine fine saja.

Justru memilih calon yang akan dicoblos itu malah yang sulit. Calon legistlatif (caleg) yang ada kurang begitu berkesan. Banyak caleg yang rekam jejaknya kurang terpuji di masyarakat. Beberapa calon lain juga kurang dikenal namun tiba-tiba mencalonkan diri. Wah susah kalau begini. Saya sendiri punya beberapa kriteria ideal untuk untuk seorang calon legislatif layak dipilih. Mau tahu? 

Ini dia:

1. Bersih
Yang satu ini syarat utama. Caleg tidak boleh korupsi. Baru jadi caleg saja sudah tidak boleh korupsi apalagi kalau nanti sudah duduk sebagai anggota dewan. Dia mesti bersih dari tindakan korupsi. Selain bersih dari korupsi dia juga harus bersih dari tindakan tidak terpuji lainnya. Bagaimana mungkin kita memilih penjahat sebagai wakil rakyat. Penjudi juga tidak masuk hitungan. Pemabuk, penipu dan segala tindakan bermoral lainnya harus kosong dari rekam jejaknya. Pendek kata si caleg harus layak untuk dijadikan panutan. Bagaimana dengan peselingkuh?.... hmmm ... tidak juga deh.

2. Punya pengalaman berkecimpung di organisasi masyarakat
Ketika duduk di legislatif maka akan diperlukan kemampuan untuk berorganisasi yang baik. Kemampuan untuk menjadi pemimpin ataupun menjadi yang dipimpin. Harus tahu hubungan kerja antar organisasi dan instansi sehingga nanti bisa bekerja sama dengan baik. Setidaknya seorang caleg harus pernah menjadi pengurus organisasi masyarakat, setidaknya di tingkat desa. Dari pengalaman ini dia akan mampu menyerap aspirasi masyarakat yang diwakili dan memperjuangkan aspirasi itu kepada yang jalur yang semestinya.

3. Tahu tugas dan kewajiban sebagai wakil rakyat
Menjadi wakil rakyat itu berbeda dengan menjadi kepala daerah. Banyak yang salah kaprah. Waktu kampanye banyak caleg yang berjanji muluk-muluk layaknya kampanye pilkada bahwa dia akan melakukan hal-hal yang sebenarnya di luar kewenangan anggota dewan. Namanya juga anggota legislatif ya fungsi utamanya sebagai pembuat legislasi, menyusun anggaran, monitoring. Dia harus punya kemampuan menyusun aturan, perda, undang-undang dan lain-lain. Kalau tidak punya persyaratan no 1 dan 2 di atas saya ragu seorang anggota dewan akan mampu menyusun peraturan dengan baik. Akan gagap menyusun anggaran dan akan lembek dalam mengawasi kinerja eksekutif. Dia harus tahu sampai di mana batas-batas kewenangannya.

4. Peduli
Karakter lain yang sangat penting adalah adanya rasa peduli. Jangan hanya peduli pada saat menjelang pemilu saja. Jangan hanya peduli pada yang memilih dia saja. Dia harus peduli pada semua lapisan masyarakat yang ada di daerah pemilihannya. Dengan kewenangan yang dipunyai seandainya dia terpilih untuk duduk di kursi anggota dewan, rasa peduli ini akan menjadi modal utama dalam menyusun legislasi, menyusun anggaran dan melakukan pengawasan. Tanpa rasa peduli makan masa lima tahun akan sia-sia. Jadi kita harus cerdas menilai calon mana yang memang dari sananya memang punya rasa peduli. Ada atau tidak ada pemilu dia selalu peduli dengan masyarakat. Dialah yang layak dipilih. Yang pedulinya dadakan pas pemilu saja tolong dihapus dari daftar.

Saya kira 4 itu yang penting di samping banyak kriteria yang lain. Tidak perlu banyak keluar uang untuk menyuap pemilih. Kalau karakter di atas sudah melekat pada diri si caleg, pasti dia terpilih.

Pemilu Legislatif 2014 bagi saya biasa saja. Mungkin ini merupakan bentuk kedewasaan masyarakat dalam memilih. Mudah-mudahan pemilu kali ini menghasilkan anggota dewan yang lebih berkualitas. 

Bagaimana menurut Anda? Ayo saya tunggu komentarnya.


Rabu, 05 Februari 2014

Naik Kereta Komuter di Kuala Lumpur


Kami memilih Bangkok dan Kuala Lumpur untuk mengisi liburan keluarga tahun 2013, tepatnya bulan Oktober. Walaupun bukan dari keluarga kaya saya berusaha untuk memberi prioritas untuk berlibur dengan istri dan anak-anak tercinta. Saya yakin dengan melihat tempat-tempat baru akan membawa manfaat yang baik bagi kami terutama buat anak-anak. Banyak hal baru yang kami lihat, banyak kenangan indah yang akan kami ingat di kemudian hari nanti. Bahasa yang berbeda, makanan yang terasa asing di lidah, adat kebiasaan yang unik dari masyarakat di sana. Satu hal yang paling saya sukai adalah bila ada hal-hal yang baik di tempat tersebut yang layak untuk kita tiru dan terapkan di kampung halaman.

Setelah tiga hari di Bangkok kami melanjutkan perjalanan ke Kuala Lumpur Malaysia. Memang hubungan antara Indonesia dan negeri jiran ini memang sering bikin panas dingin karena beberapa isu seperti masalah TKI maupun klaim budaya yang sering dilakukan pihak Malaysia. Itulah yang membuat kami tambah penasaran. Yah, demikian memang dinamika hubungan negara bertetangga. Sama seperti dengan hubungan kita dengan tetangga. Kadang mesra kadang tanpa tegur sapa.

Harus saya akui bahwa Kuala Lumpur sudah lebih maju daripada Jakarta. Infrastrukturnya lebih bagus, kebiasaan warga kotanya pun sudah modern. Lebih bersih, lebih rindang, tidak ada pengemis di jalan, lebih teratur. Jaringan transportasi umum juga sangat bagus dan terhubung dengan baik ke berbagai tempat penting maupun destinasi wisata. Bukannya tidak ada macet seperti di Denpasar atau Jakarta. Tapi macet di sana masih lebih beradab tanpa suara klakson dan tanpa saling serobot atau sepeda motor naik trotoar.

Dibandingkan dengan KL, Bali sebenarnya punya lebih banyak tempat wisata yang lebih menarik dan unik. Tiga hari di KL membuat saya mati gaya untuk menentukan tempat mana yang akan dikunjungi. Anak-anak saya sudah cukup besar (11 dan 15 tahun). Mereka sudah pernah ke beberapa tempat seperti Universal Studio Singapura, Ancol, Trans Studio Bandung. Jadi tempat-tempat yang berbau theme park seperti Sunway Lagoon, KL Aquarium dan lain lain tidak begitu menarik lagi buat mereka. Shopping juga bukan hobi mereka, kecuali ibunya... hahaha. Agar lebih berpetualang kami akhirnya memilih untuk berkunjung ke Batu Caves, sebuah tempat ibadah umat Hindu di sedikit di luar KL. Staff Club Lounge di Grand Hyatt Kuala Lumpur menyarankan kami untuk naik kereta komuter. Selain murah juga bersih dan tepat waktu katanya.

Maka kamipun mengikuti saran mereka. Kami berangkat dari stasiun (bahasa Malaysia-nya 'stesen') yang ada di bawah menara kembar Petronas menuju KL Central. Memang benar. Keretanya bersih, tepat waktu. Tiketnya pun cukup murah. Tinggal beli di konter atau di mesin seperti mesin ATM. Setelah melewati beberapa 'stesen' akhirnya kami sampai di Batu Caves. Kurang lebih memerlukan sekitar 25 menit waktu tempuh dari KL Central. Perjalanan yang nyaman karena keretanya bersih, sejuk, tepat waktu. Dan yang paling penting adalah rasa aman. Ada petugas pemeriksa karcis yang sepertinya juga sebagai pengawas keamanan yang selalu siaga. Pulangnya kami juga naik kereta ini sampai 'stesen' semula.

Saya tidak ingin bercerita tentang Batu Caves kali ini. Mungkin di waktu yang lain saja. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah sebuah ide. Mungkinkah di Bali kita buat jaringan kereta api komuter yang menghubungkan semua tempat wisata di Bali dengan aman, nyaman, murah dan tepat waktu? Saya rasa sangat mungkin, tergantung kemauan dari pemerintah dan dukungan masyarakat. Dengan sistim transportasi yang tidak teratur saat ini menyebabkan polusi di mana-mana termasuk di tempat-tempat wisata yang jauh di pelosok desa. Kawasan wisata Besakih yang nota bena merupakan kawasan suci umat Hindu terkena polusi asap kendaraan yang luar biasa. Belum lagi waktu yang banyak terbuang percuma karena terjebak kemacetan di mana-mana. Tentu hal ini akan menjadikan Bali semakin kalah dalam persaingan dengan destinasi wisata lain di dunia.

Kalau ini terwujud maka kemacetan akan berkurang. Demikian juga polusinya. Waktu wisatawan jadi lebih efisien sehingga lebih banyak waktu yang bisa dipakai untuk menikmati segala atraksi yang disediakan oleh objek wisata. Efisiensi biaya transportasi akan beralih kepada meningkatnya anggaran dari wisatawan untuk sektor lain seperti toko souvenir, warung makan maupun penginapan lokal.

Tentu akan ada protes dari warga masyarakat yang selama ini menggantungkan nafkahnya dari menjual jasa angkutan wisata. Tentu saja harus dicari pemecahannya. Bisa saja kendaraan mereka dijadikan semacam 'feeder' untuk mendukung sistim transportasi masal ini. Selalu ada saja pengorbanan untuk sesuatu yang lebih baik. Dan untuk itu perlu kesadaran dan dukungan warga.

Saya berkhayal suatu hari akan naik kereta komuter dari Stasiun Kuta ke Stasiun Besakih pergi-pulang. Semoga Anda juga mempunyai khayalan yang sama.