Kamis, 14 Mei 2009

Sisi Lain Pak Boed yang Saya Kenal

Saya sedang mengumpulkan beberapa artikel tentang sosok Pak Boediono yang sekarang sedang hangat dibicarakan orang karena jadi cawapresnya SBY. Kebetulan tadi waktu buka kompas.com ketemu artikel di bawah ini. Yang nulispun bukan orang sembarangan yaitu Faisal Basri, salah satu ekonom nasional yang kita. Selama ini Faisal Basri kita kenal sebagai tokoh yang kritis terhadap perekonomian nasional kita. Saya yakin apa yang dia tulis di blog pribadinya ini sangat valid. Selamat membaca!

===============================================================

Sisi Lain Pak Boed yang Saya Kenal
Oleh Faisal Basri - 14 Mei 2009 - Dibaca 5126 Kali -

Saya pertama kali mengenal Pak Boed pada akhir 1970-an lewat buku-bukunya yang enak dibaca, ringkas, dan padat. Pada akhir 1970-an. Kalau tak salah, judul-judul bukunya selalu dialawali dengan kata ”sinopsis,” ada Sinopsis Makroekonomi, Sinopsis Mikroekonomi, Sinopsis Ekonomi Moneter, dan Sinopsis Ekonomi Internasional. Kita mendapatkan saripati ilmu ekonomi dari buku-bukunya yang mudah dicerna.

Pada suatu kesempatan, Pak Boed mengutarakan pada saya niatnya untuk merevisi buku-bukunya itu. Mungkin ia berniat untuk menulis lebih serius sehingga bisa menghasilkan buku teks yang lebih utuh. Kala itu saya menangkap keinginan kuat Pak Boed untuk kembali ke kampus dan menyisihkan waktu lebih banyak menulis buku. Karena itu, ia tak lagi berminat untuk kembali masuk ke pemerintahan setelah masa tugasnya selesai sebagai Menteri Keuangan di bawah pemerintihan Ibu Megawati.

Pak Boed dan Pak Djatun (Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menko Perekonomian) bekerja keras memulihkan stabilitas ekonomi yang “gonjang-ganjing” di bawah pemerintahan Gus Dur. Hasilnya cukup mengesankan. Pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan terus menerus. Di tengah hingar bingar masa kampanye seperti dewasa ini, Ibu Mega ditinggalkan oleh wapresnya, dua menko, dan seorang menteri (Agum Gumelar). Ternyata perekonomian tak mengalami gangguan berarti. Kedua ekonom senior ini bekerja keras mengawal perekonomian. Hasilnya cukup menakjubkan, pertumbuhan ekonomi pada triwulan keempat 2004 mencapai 6,65 persen, tertinggi sejak krisis hingga sekarang.

Selama dua tahun pertama pemerintahan SBY-JK, perekonomian Indonesia mengalami kemunduran. Tatkala muncul gelagat Pak SBY hendak merombak kabinet, sejumlah kawan mengajak Pak Boed bertemu. Niat para kolega ini adalah membujuk Pak Boed agar mau kembali masuk ke pemerintahan seandainya Pak SBY memintanya. Agar lebih afdhol, kolega-kolega saya ini juga mengajak Ibu Boed. Mungkin di benak mereka, Ibu bisa turut luluh dengan pengharapan mereka. Akhirnya, Pak Boed menduduki jabatan Menko Perekonomian. Mungkin sahabat-sahabat saya itu masih terngiang-ngiang sinyal penolakan Pak Boed dengan selalu mengatakan bahwa ia sudah cukup tua dan sekarang giliran yang muda-muda untuk tampil. Memang, Pak Boed selalu memilih ekonom muda untuk mendampinginya: Mas Anggito, Bung Ikhsan, Bung Chatib Basri, Mas Bambang Susantono, dan banyak lagi. Semua mereka lebih atau jauh lebih muda dari saya.

Interaksi langsung terjadi ketika Pak Boed menjadi salah seorang anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN). Saya ketika itu anggota Tim Asistensi Ekonomi Presiden (anggota lainnya adalah Pak Widjojo Nitisastro, Pak Alim Markus, dan Ibu Sri Mulyani Indrawati). Ibu Sri Mulyani memiliki jabatan rangkap (jadi bukan sekarang saja), selain sebagai anggota Tim Asistensi juga menjadi sekretaris DEN. Pak BOed tak pernah mau menonjolkan diri, walau ia sempat jadi menteri pada masa transisi.

Sikap rendah hati itulah yang paling membekas pada saya. Lebih banyak mendengar ketimbang bicara. Kalau ditanya yang “nyerempet-nyerempet,” jawabannya cuma dengan tersenyum. Saya tak pernah dengar Pak Boed menjelek-jelekkan orang lain, bahkan sekedar mengkritik sekalipun.

Tak berarti bahwa Pak Boed tidak tegas. Seorang sahabat yang membantunya di kantor Menko Perekonomian bercerita pada saya ketegasan Pak Boed ketika hendak memutuskan nasib proyek monorel di Jakarta yang sampai sekarang terkatung-katung. Suatu waktu menjelang lebaran, Pak Boed dan sejumlah staf serta, kalau tak salah, Menteri Keuangan dipanggil Wapres. Sebelum meluncur bertemu Wapres, Pak Boed wanti-wanti kepada seluruh stafnya agar kukuh pada pendirian berdasarkan hasil kajian yang mereka telah buat. Pak Boed sempat bertanya kepada jajarannya, kira-kira begini: “Tak ada yang konflik kepentingan, kan? Ayo kita jalan, Bismillah … Keesokan harinya, saya membaca di media massa bahwa sekeluarnya dari ruang pertemuan dengan Wapres, semua mereka berwajah “cemberut” tanpa komentar satu kata pun kepada wartawan.

Adalah Pak Boed pula yang memulai tradisi tak memberikan “amplop” kalau berurusan dengan DPR. Tentang ini, saya dengar sendiri perintahnya kepada Mas Anggito.
Ada dua lagi, setidaknya, pengalaman langsung saya berjumpa dengan Pak Boed. Pertama, satu pesawat dari Jakarta ke Yogyakarta tatkala Pak Boed masih Menteri Keuangan. Berbeda dengan pejabat pada umumnya, Pak Boed dijemput oleh Ibu. Dari kejauhan saya melihat Ibu menyetir sendiri mobil tua mereka.

Kedua, saya dan isteri sekali waktu bertemu Pak Boed dan Ibu di Supermarket dekat kediaman kami. Dengan santai, Pak Boed mendorong keranjang belanja. Rasanya, hampir semua orang di sana tak sadar bahwa si pendorong keranjang itu adalah seorang Menko.

Banyak lagi cerita lain yang saya dapatkan dari berbagai kalangan. Kemarin di bandara Soekarno Hatta setidaknya dua orang (pramugara dan staf ruang tunggu) bercerita pada saya pengalaman mengesankan mereka ketika bertemu Pak Boed. Seperti kebanyakan yang lain, kesan paling mendalam keduanya adalah sikap rendah hati dan kesederhanaannya.

Dua hari lalu saya dapat cerita lain dari pensiunan pejabat tinggi BI. Ia mengalami sendiri bagaimana Pak Boed memangkas berbagai fasilitas yang memang terkesan serba “wah.” Dengan tak banyak cingcong, ia mencoret banyak item di senarai fasilitas. Kalau tak salah, Pak Boed juga menolak mobil dinas baru BI sesuai standar yang berlaku sebelumnya. Entah apa yang terjadi, jangan-jangan mobil para deputi dan deputi senior lebh mewah dari mobil dinas gubernur.
Kalau mau tahu rumah pribadi Pak Boed di Jakarta, datang saja ke kawasan Mampang Prapatan, dekat Hotel Citra II. Kebetulan kantor kami, Pergerakan Indonesia, persis berbelakangan dengan rumah Pak Boed. Rumah itu tergolong sederhana. Bung Ikhsan pernah bercerita pada saya, ia menyaksikan sendiri kursi di rumah itu sudah banyak yang bolong dan lusuh.

Bagaimana sosok seperti itu dituduh sebagai antek-antek IMF, simbol Neoliberalisme yang bakal merugikan bangsa, dan segala tuduhan miring lainnya. Lain kesempatan kita bahas tentang sikap dan falsafah ekonomi Pak Boed. Kali ini saya hanya sanggup bercerita sisi lain dari sosok Pak Boed yang kian terasa langka di negeri ini.

Maju terus Pak Boed. Doa kami senantiasa menyertai kiprah Pak Boed ke depan, bagi kemajuan Bangsa.

Ekonomi Neoliberal, Masih Adakah?

Menarik juga untuk mengikuti perkembangan proses penentuan capres dan cawapres. Begitu SBY mengumumkan memilih Boediono sebagai cawapres, banyak pihak yang tidak setuju dengan Gubernur BI ini menyerang dengan mengatakan bahwa Boediono menganut paham ekonomi Neoliberal. Apa itu paham Neoliberal? Tulisan yang saya copy dari detik.com edisi hari ini rasanya cukup membantu kita untuk memahami wacana ini secara lebih berimbang. Selamat membaca

-------------------------------------
Ekonomi Neoliberal, Masih Adakah?

Jakarta - Kalimat ekonomi neoliberal sedang jadi tren menjelang pemilihan presiden. Mencuatnya Boediono sebagai cawapres pun lantas dikait-kaitkan dengan paham ekonomi neoliberal itu. Benar kah? Bagaimana sebetulnya ekonomi neoliberal ini?

Ekonomi neoliberal diartikan sebagai filosofi ekononomi-politik yang mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestik. Ekonomi neoliberal fokus pada metode pasar bebas dan sangat sedikit membatasi perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi.

Dalam pandangan kepala ekonom Bank Danamon, Anton Gunawan, saat ini susah untuk mencari negara yang menerapkan model ekonomi neoliberal secara murni. Amerika Serikat (AS) yang disebut-sebut menerapkan ekonomi neoliberal sebenarnya tak lagi secara murni menerapkan teori itu.

"AS sebenarnya tidak purely ekonomi neoliberalisme. Segala sesuatunya ada UU. Bahkan sekelas Microsoft pun kena aturan. Mereka sendiri secara relatif kalau bikin spektrumnya relatif sebelah kanan, lebih ke sangat terbuka, sangat bebas. Tapi mereka juga mengimbangi untuk menolong masyarakatnya, dengan modal security system untuk menolong masyarakat yang tidak mampu," urai Anton dalam perbincangannya dengan detikFinance, Kamis (14/5/2009).

Negara mana yang kini menerapkan neoliberalisme? "Sekarang susah kalau mau mencari yang purely neoliberalism," ujar Anton.

Lantas bagaimana dengan Indonesia?Anton menjelaskan, dari banyak sisi, mengkaitkan perekonomian Indonesia dengan paham ekonomi neoliberalisme sangat lah jauh. Salah satu indikator dari ekonomi neoliberalisme adalah seberapa jauh peran negara dalam perekonomian.

Padahal di Indonesia, justru peran pemerintah sangat besar bagi perekonomian Indonesia. Badan-badan usaha pemerintah juga memberikan kontribusi yang cukup besar. Kalau pun mau dilihat dari peran Foreign Direct Investment (FDI) terhadap PDB, nilainya cukup kecil di Indonesia.

"Porsi FDI terhadap PDB di Indonesia tu masih relatif kecil kalau dibandingkan dengan yang lain. Mungkin untuk 2-3 sektor seperti pertambangan, FDI besar, tapi yang lain kan tidak? Bahkan untuk sektor perbankan, bank BUMN justru mendominasi," katanya.

Neoliberalisme juga memberikan batasan-batasan yang sangat kecil bagi pelaku usaha. Sementara di Indonesia pembatasan terhadap pelaku usaha sangat banyak, misalnya dengan kehadiran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

"Di Indonesia, institusi mengambil peran yang penting, sementara neoliberalisme institusi tidak diperhatikan. Padahal kita sangat memperhatikan, contohnya kehadiran KPPU yang menjadi wasit jika ada monopoli," katanya.

Dari sisi utang luar negeri, Anton menjelaskan bahwa saat ini justru sudah dikelola dengan baik meski manajemen utangnya masih perlu ditingkatkan.

"Ke depannya, bagaimana utang itu bisa digunakan dengan lebih efektif. Jadi jangan banyak yang bocor atau terlambat pelaksanaan proyeknya," katanya.

Sosok Boediono, lanjut Anton, justru dikatakan memiliki program yang cukup kuat untuk penurunan utang-utang asing. Seperti diketahui, Boediono ketika tahun 2001-2004 menjabat sebagai Menkeu, memfokuskan perhatian pada konsolidasi fiskal.

"Program utamanya adalah konsolidasi fiskal dalam arti mencoba menyelamatkan fiskal supaya kuat dan kelihatan juga didalamnya penurunan utang-utang luar negeri yang terkait CGI. Kalau kayak gitu berarti dia cukup care dengan soal utang luar negeri," katanya.

Apa sebenarnya paham ekonomi Indonesia? Anton menyebutnya sebagai paham campuran. "Kita menggunkan mekanisme pasar, dimana mekanisme pasar lebih bisa berjalan mendukung efisiensi dan produktivitas, tapi tidak kebablasan dalam artian membiarkan yang besar berkuasa, yang kecil akan mati," katanya.

Terkait rencana SBY memilih Boediono sebagai cawapres, Anton melihatnya dari 3 sisi:
- Pertama, Boediono dinilai sebagai orang yang bersih, anti korupsi dan tidak terlibat bisnis apapun, serta hidupnya penuh kesederhanaan. "Dia bukan tipe orang pebisnis sehingga proyek tidak akan tercampuri oleh dirinya atau keluarganya," jelas Anton.

- Kedua, hal itu menunjukkan bahwa ekonomi masih menjadi prioritas pemerintah dalam 5 tahun ke depan, apalagi di tengah situasi krisis.

- Ketiga, untuk meredam pertikaian antara parpol yang memperebutkan posisi tersebut.