Rabu, 05 Februari 2014

Naik Kereta Komuter di Kuala Lumpur


Kami memilih Bangkok dan Kuala Lumpur untuk mengisi liburan keluarga tahun 2013, tepatnya bulan Oktober. Walaupun bukan dari keluarga kaya saya berusaha untuk memberi prioritas untuk berlibur dengan istri dan anak-anak tercinta. Saya yakin dengan melihat tempat-tempat baru akan membawa manfaat yang baik bagi kami terutama buat anak-anak. Banyak hal baru yang kami lihat, banyak kenangan indah yang akan kami ingat di kemudian hari nanti. Bahasa yang berbeda, makanan yang terasa asing di lidah, adat kebiasaan yang unik dari masyarakat di sana. Satu hal yang paling saya sukai adalah bila ada hal-hal yang baik di tempat tersebut yang layak untuk kita tiru dan terapkan di kampung halaman.

Setelah tiga hari di Bangkok kami melanjutkan perjalanan ke Kuala Lumpur Malaysia. Memang hubungan antara Indonesia dan negeri jiran ini memang sering bikin panas dingin karena beberapa isu seperti masalah TKI maupun klaim budaya yang sering dilakukan pihak Malaysia. Itulah yang membuat kami tambah penasaran. Yah, demikian memang dinamika hubungan negara bertetangga. Sama seperti dengan hubungan kita dengan tetangga. Kadang mesra kadang tanpa tegur sapa.

Harus saya akui bahwa Kuala Lumpur sudah lebih maju daripada Jakarta. Infrastrukturnya lebih bagus, kebiasaan warga kotanya pun sudah modern. Lebih bersih, lebih rindang, tidak ada pengemis di jalan, lebih teratur. Jaringan transportasi umum juga sangat bagus dan terhubung dengan baik ke berbagai tempat penting maupun destinasi wisata. Bukannya tidak ada macet seperti di Denpasar atau Jakarta. Tapi macet di sana masih lebih beradab tanpa suara klakson dan tanpa saling serobot atau sepeda motor naik trotoar.

Dibandingkan dengan KL, Bali sebenarnya punya lebih banyak tempat wisata yang lebih menarik dan unik. Tiga hari di KL membuat saya mati gaya untuk menentukan tempat mana yang akan dikunjungi. Anak-anak saya sudah cukup besar (11 dan 15 tahun). Mereka sudah pernah ke beberapa tempat seperti Universal Studio Singapura, Ancol, Trans Studio Bandung. Jadi tempat-tempat yang berbau theme park seperti Sunway Lagoon, KL Aquarium dan lain lain tidak begitu menarik lagi buat mereka. Shopping juga bukan hobi mereka, kecuali ibunya... hahaha. Agar lebih berpetualang kami akhirnya memilih untuk berkunjung ke Batu Caves, sebuah tempat ibadah umat Hindu di sedikit di luar KL. Staff Club Lounge di Grand Hyatt Kuala Lumpur menyarankan kami untuk naik kereta komuter. Selain murah juga bersih dan tepat waktu katanya.

Maka kamipun mengikuti saran mereka. Kami berangkat dari stasiun (bahasa Malaysia-nya 'stesen') yang ada di bawah menara kembar Petronas menuju KL Central. Memang benar. Keretanya bersih, tepat waktu. Tiketnya pun cukup murah. Tinggal beli di konter atau di mesin seperti mesin ATM. Setelah melewati beberapa 'stesen' akhirnya kami sampai di Batu Caves. Kurang lebih memerlukan sekitar 25 menit waktu tempuh dari KL Central. Perjalanan yang nyaman karena keretanya bersih, sejuk, tepat waktu. Dan yang paling penting adalah rasa aman. Ada petugas pemeriksa karcis yang sepertinya juga sebagai pengawas keamanan yang selalu siaga. Pulangnya kami juga naik kereta ini sampai 'stesen' semula.

Saya tidak ingin bercerita tentang Batu Caves kali ini. Mungkin di waktu yang lain saja. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah sebuah ide. Mungkinkah di Bali kita buat jaringan kereta api komuter yang menghubungkan semua tempat wisata di Bali dengan aman, nyaman, murah dan tepat waktu? Saya rasa sangat mungkin, tergantung kemauan dari pemerintah dan dukungan masyarakat. Dengan sistim transportasi yang tidak teratur saat ini menyebabkan polusi di mana-mana termasuk di tempat-tempat wisata yang jauh di pelosok desa. Kawasan wisata Besakih yang nota bena merupakan kawasan suci umat Hindu terkena polusi asap kendaraan yang luar biasa. Belum lagi waktu yang banyak terbuang percuma karena terjebak kemacetan di mana-mana. Tentu hal ini akan menjadikan Bali semakin kalah dalam persaingan dengan destinasi wisata lain di dunia.

Kalau ini terwujud maka kemacetan akan berkurang. Demikian juga polusinya. Waktu wisatawan jadi lebih efisien sehingga lebih banyak waktu yang bisa dipakai untuk menikmati segala atraksi yang disediakan oleh objek wisata. Efisiensi biaya transportasi akan beralih kepada meningkatnya anggaran dari wisatawan untuk sektor lain seperti toko souvenir, warung makan maupun penginapan lokal.

Tentu akan ada protes dari warga masyarakat yang selama ini menggantungkan nafkahnya dari menjual jasa angkutan wisata. Tentu saja harus dicari pemecahannya. Bisa saja kendaraan mereka dijadikan semacam 'feeder' untuk mendukung sistim transportasi masal ini. Selalu ada saja pengorbanan untuk sesuatu yang lebih baik. Dan untuk itu perlu kesadaran dan dukungan warga.

Saya berkhayal suatu hari akan naik kereta komuter dari Stasiun Kuta ke Stasiun Besakih pergi-pulang. Semoga Anda juga mempunyai khayalan yang sama.


Tidak ada komentar: