Senin, 12 Januari 2009

Bali Kebanjiran

Sebagai orang Bali yang sudah hidup selama 38 tahun di pulau mungil ini, mendengar kata banjir atau mengalami banjir adalah hal yang sangat jarang bagi saya. Namun, apa mau dikata karena kata banjir sejak dua tahun belakangan semakin sering saya dengar dan alami.

Minggu pagi kemarin, Era (Sales Manager saya) mengirimkan pesan singkat ke ponsel saya. Isinya begini: ‘Belum pernah seumur hidup saya mengalami kebanjiran. Jam 2 pagi kamar saya kebocoran, tertidur lagi di pojok tempat tidur karena sebagian dah basah. Terbangun jam 6 tempat tidur udah ngambang. Air masuk ke dalam rumah hampir selutut. Di jalan depan rumah sampai sepaha orang dewasa. Cuaca juga masih hujan terus. Tidak bisa ke kamar mandi karena WC meluap. Syukur listrik masih menyala dan rumah tingkat, jadi bisa ngungsi di lantai dua.HP dan laptop selamat. Mobil belum bisa lihat karena belum ada yang keluar rumah. Sampai sekarang air masih naik terus di dalam rumah. Era di Sanur Bali’.

Saya pun menjawab SMS itu sekenanya seperti ini: 'Seperti cerita novel. Saatnya untuk pindah kos'. Dalam hati saya merasa prihatin juga. Era bergabung dengan perusahaan tempat saya bekerja tiga bulan yang lalu. Saya yakin bekerja di Bali buat dia adalah impian yang menjadi kenyataan. Sebelumnya dia kerja di Malang, yang saya yakin tidak pernah kebanjiran. Bali yang baginya merupakan pulau yang indah ternyata tidak seindah yang di tulis media. Dalam pesan singkat di atas tersirat rasa kecewa.

Awalnya saya pikir banjir hanya terjadi di tempatnya Era, di kawasan Sanur, yang memang dekat dengan muara sungai. Eh ternyata saya salah. Di Bali Post tadi pagi saya baca banjir terjadi di beberapa tempat. Denpasar, Sanur,Kuta, Gianyar dan Ubud banyak banjir juga. Tujuh mobil tenggelam, korban ditelantarkan, demikian judul headlinenya. Dalam hati saya merasa trenyuh. Ke mana Baliku yang dulu? Bali yang tidak pernah banjir.

Lalu apa sih kira-kira penyebabnya?

Saya coba untuk menghubung-hubungkan beberapa fakta yang ada. Di bawah ini hasil analisa saya:

1. Daerah resapan yang makin sempit.
Semakin bertambahnya penduduk Denpasar, Kuta dan daerah lainnya membuat semakin banyak daerah yang dulunya sawah maupun tegalan yang beralih fungsi menjadi perumahan dan perkantoran. Besarnya pertambahan penduduk lebih banyak disebabkan oleh kedatangan kaum pendatang dari kabupaten lain di Bali maupun dari daerah luar Bali. Perumahan type kecil banyak bermunculan untuk menjawab kebutuhan. Dengan tanah yang hanya 70 sampai dengan 100 meter persegi, penghuni cenderung memanfaatkan semua lahan pekarangan dengan maksimal. Setiap jengkal tanah dipasangi paving block sehingga area resapan air makin berkurang.

2. Kurangnya kesadaran masyarakat memelihara saluran drainase.
Saya yang sehari-hari hidup di Denpasar sudah sangat hafal dengan prilaku buruk dari sebagian masyrakat kita. Kebiasaan membuang sampah ke selokan maupun sungai sudah menjadi pemandangan umum. Orang yang membangun rumah baru, hanya memperhatikan sisi arsitekturnya saja. Ke mana larinya air hujan tidak pernah dipikirkan. Pengembang perumahan juga sama saja. Jalan dibuat mulus, gerbang masuk kawasan terlihat megah namun sistem drainase tidak jelas pengaturannya dan selalu luput dari perencanaan.

3. Lemahnya pengawasan pemerintah terutama dalam pengembangan wilayah pemukiman baru.
Coba perhatikan daerah pemukiman baru di sekitar Denpasar. Bukan hanya jalannya yang sempit dan berliku-liku, got juga tidak ada. Jadi kalau hujan, jalan berubah jadi sungai. Pemukim yang memdirikan bangunan juga tidak peduli dengan saluran drainase. Kalaupun mereka membuat saluran pembuangan, itupun dibuatnya tanpa keterpaduan dengan tetangga sebelah. Ukurannya juga hanya sekedarnya. Pengawasan dari pemerintah daerah juga nihil. Mestinya untuk urusan ini difasilitasi oleh pemerintah. Pemukim yang biasanya berasal dari beragam latar belakang tentunya tidak mampu untuk mengelola permasalahan yang bersifat publik seperti ini. Apalagi menegur dan memberi sanksi kepada warga yang melanggar.

Jalan di depan kantor saya sekarang jadi langganan banjir setiap tahun. Saya amati semakin tahun semakin parah. Saya yakin ketiga faktor di atas adalah jawaban dari fenomena ini.

Sebagai daerah destinasi wisata dunia, Bali mestinya berbenah. Banjir ini menjadi acara rutin tahunan dan beritanya sampai meluas tentu akan memberi citra negatif bagi Bali. Belum lagi beberapa berita bernada minor lainnya seperti rabies, kemacetan lalu lintas dan tindak criminal yang menimpa wisatawan asing. Kondisi pariwisata Bali yang saat ini sedang lesu karena krisis ekonomi global akan semakin terperosok ke jurang yang lebih dalam kalau masalah-masalah tersebut tidak kita atasi.

Tidak ada komentar: